GSM

“Andai Ki Hajar Dewantara hidup di era ini, Ia akan merasakan disonansi hebat atas menyelewengnya laju pendidikan Indonesia yang kian menjauh dari cetak biru yang Ia tanam.”

Refleksi tersebut merupakan salah satu inti yang disampaikan oleh Muhammad Nur Rizal, Ph.D selaku founder Gerakan Sekolah Menyenangkan dalam kegiatan Ziarah Pendidikan yang diikuti oleh 226 kepala sekolah dari SD hingga SMP di Yogyakarta pada tanggal 24 – 25 April 2025 yang diadakan atas kolaborasi antara Dinas Pendidikan OKU Timur, Sumatera Selatan dan Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), dan dilanjutkan kembali Batch 2 pada tanggal 1 – 2 Mei 2025 bersama sekitar 200 kepala sekolah dari sekolah yang berbeda.  Acara tersebut turut dihadiri oleh Wakil Bupati, Kepala Dinas OKU Timur, beserta jajarannya.

Ada tiga tempat yang menjadi tujuan rombongan dalam Ziarah Pendidikan ini, yakni bertemu dan berguru secara langsung dari founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal, dan juga melawat ke dua makam pahlawan yang memiliki pengaruh besar terhadap pendidikan di Indonesia, yaitu milik Ki Hajar Dewantara dan K. H. Ahmad Dahlan.

Isu demi isu buruk yang berkembang menyoal pendidikan di Indonesia banyak memiliki kaitannya terhadap kesejahteraan, seperti ketidakmerataan tenaga pengajar untuk daerah 3T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal), beban pekerjaan bagi guru yang terlalu berat, hingga akses terhadap bahan ajar yang terbatas. Liputan dari beberapa media yang secara gamblang menyorot masalah nyata nampaknya tidak cukup untuk membuat pemerintah bergegas menyediakan solusi jitu.

Padahal, sejak dulu, Ki Hajar Dewantara sudah mencontohkan praktek pendidikan yang menyetarakan semua jenis kalangan, terutama mengangkat derajat kaum yang terpinggirkan.

“Ki Hajar Dewantara disebut sebagai guru bangsa dan sang pembebas bukan tanpa alasan. Perjuangannya dalam menyekolahkan anak pribumi pada masa penjajahan dan membuat mereka memiliki cukup kebijaksanaan agar dapat memerdekakan negeri adalah buktinya. Ki Hajar percaya kalau penjajahan dapat diselesaikan lewat intelektualitas,” ucap Muhammad Nur Rizal dalam penjelasannya.

Berziarah ke tempat persemayaman Ki Hajar Dewantara sama dengan mencoba untuk mereplikasi semangatnya dalam mengajak murid untuk tidak mematuhi regulasi dan kurikulum tanpa daya pikir kritis.

“Empati untuk mengambil kebijakan yang berpihak bagi kesejahteraan guru dan murid mestinya dapat tumbuh dengan kesadaran bahwa sebuah kejayaan bukanlah milik pribadi, tetapi sebuah titipan dari para penopangnya, yaitu rakyat. Bagai stupa yang bertengger di tempat tinggi karena ditopang banyak batu candi, ” tutur Rizal.

Tidak bisa dipungkiri kalau dalam proses membangun Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Rizal memiliki kesamaan dengan  Ki Hajar Dewantara sebagai penggagas Taman Siswa, yaitu privilese untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi, tetapi juga mencicipi hidup yang sederhana. Rentetan pengalaman tersebut melahirkan pandangan unik di dalam diri mereka hingga menyalakan gairah perjuangan untuk mengentaskan ketidakadilan yang muncul di hadapan mereka.

“Perlu diketahui bahwa penjajahan tidak hanya melalui senjata, tetapi bisa juga lewat pengekangan cara berpikir. Pendidikan feodalisme khas masa kolonial di mana guru dianggap mutlak benar dan murid yang hanya dianggap sebagai penghafal, alih-alih pemikir adalah juga bentuk penindasan,” ungkap Rizal.

“Apa bedanya kita dengan Belanda yang menyiapkan para murid pribumi untuk kemudian diperalat sebagai tenaga dalam menjalankan birokrasi kolonial? Taat yang tidak disertai oleh berpikir kritis adalah gejala penjajahan,” tambah Rizal.

Rizal menyayangkan semboyan pendidikan yang lahir dari pemikiran Ki Hajar Dewantara kini tidak lagi relevan karena lahirnya banyak produk kebijakan yang justru bertolak belakang. Dengan begitu imbasnya jelas, yaitu ketidakbahagiaan guru dan murid.

“Pendidikan adalah proses belajar untuk menjadi manusia yang utuh. Proses yang mampu membantu murid dalam membangun fondasi guna belajar dari kehidupan selamanya. Indonesia membutuhkan pendidikan yang bermuatan budi pekerti. Perpaduan antara pikiran, perasaan, dan kemauan untuk menciptakan daya kemanusiaan dalam mencipta dan berbuat,” tutup Rizal.

Pada akhirnya, sulit kalau kita berharap akan lahirnya Ki Hajar Dewantara yang berikutnya. Ia pun tidak membenarkan angan tersebut karena prinsipnya dalam pendidikan sendiri adalah agar setiap insan mampu memaksimalkan keunikannya masing-masing. 

Namun, bukan berarti kita tidak dapat menjaga warisan penting yang Ia tinggalkan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, yaitu keteguhan dalam melawan penjajahan berbentuk apapun, termasuk dari pemangku jabatan tertentu yang masih menghambat proses pencerdasan kehidupan bangsa.

Kita dapat mencoba memahami pengalaman dari para partisipan yang hadir di dalam acara Ziarah Pendidikan.

Vanya, salah seorang relawan muda GSM yang mengikuti seluruh rangkaian acara menyatakan bahwa ia kini mengerti bahwa pendidikan yang sesungguhnya justru sangat memanusiakan. Hal tersebut telah diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. 

“Ternyata pendidikan memang sebaiknya mampu membiarkan siswa untuk bereksplorasi. Selain itu, juga bekerja sama dengan guru yang menjadi pemandu untuk membawa mereka mencapai potensi terbaiknya,” ucap Vanya.

Vanya juga mengakui kalau ia mendapatkan cara pandang baru mengenai kesenangan yang disinyalir sebagai sumber terbesar atas timbulnya motivasi. 

“Kesenangan adalah sebuah emosi yang membuat kita ingin terus penasaran dan mendorong untuk tetap belajar dan bertumbuh,” tambahnya.

Di sisi lain, refleksi unik justru didapatkan dari Lutfi setelah mewawancarai salah satu guru bernama Sri Wahyuni.

“Keinginan saya adalah untuk membangun pola pikir para guru untuk merangkul setiap anak-anaknya dan membebaskan kesenjangan antara anak satu dengan yang lainnya,” jawab Sri ketika ditanyai Lutfi perihal harapannya setelah mengikuti kegiatan Ziarah Pendidikan.

Ibu Sri juga sempat menyatakan bahwa ia berharap agar perbedaan kultur dan budaya tidak akan menghalangi prinsip GSM untuk dapat diterapkan disekolahnya. 

Keraguan tersebut mulai mampu ditepis lewat optimisme yang tumbuh seiring dengan penyambutan secara hangat dari Guru GSM di Yogyakarta terhadap teman-teman guru dari Oku Timur. GSM Yogyakarta selalu terbuka untuk mendampingi GSM dari Oku Timur membukakan kemungkinan bahwa batasan kultural itu pasti bisa dilewati.

Banyak dari pegiat GSM juga secara sukarela menyediakan waktu untuk membagikan pengalaman keikutsertaannya sebagai guru GSM melalui #NgobrasGSM, mulai dari Kang Ido dari GSM Pangandaran, Ibu Rini dari GSM Rembang, Ibu Atun dari GSM Magelang, Ibu Rosi dari GSM Sleman, dan lain-lain.

Kegiatan tersebut dilakukan sebanyak tiga kali secara daring dengan harapan adanya keberlanjutan pada guru-guru Oku dan langsung berdampak ke murid setelah kepulangan mereka dari Yogyakarta.

Penulis: Dimas Adytya Putranto

Editor: Viska Erma Mustika

Categories: Informasi

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.