Sembilan puluh enam tahun yang lalu, para pemuda dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul dan bersumpah untuk menyatukan Indonesia, menghapuskan perbedaan suku, agama, dan ras demi mencapai cita-cita kemerdekaan dan persatuan. Mereka berkumpul karena memiliki urgensi dan keresahan yang sama. Membangun bangsa di masa depan melalui bahasa dan mimpi.
Mimpi besar yang diartikulasikan dengan baik pasti akan menemukan massanya. Persis seperti safari komunitas untuk memperkenalkan budaya pendidikan humanis dan relevan dengan tantangan masa depan yang tidak kunjung berhenti dilakukan oleh founder dan co-founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal dan Novi Poespita Candra. Kali ini, mereka hadir sebagai narasumber di acara workshop komunitas GSM Sibon (Situbondo-Bondowoso) dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang dilaksanakan pada 29 – 30 Oktober 2024.
Dalam menyongsong ketidakpastian dunia yang diproyeksikan akan terjadi, Rizal menekankan agar pendidikan perlu menyediakan bekal bagi masyarakat Indonesia untuk merdeka dari keterjajahan digital.
Layaknya pendidikan di China yang mengutamakan STEM serata integrasi seni dan budaya, juga pendidikan di Jepang yang sangat menitikberatkan pada pengembangan karakter, keterampilan hidup, kreativitas, dan inovasi. Konsep pendidikan yang tidak melulu menekankan kecerdasan akademik sebagai satu-satunya orientasi.
“Saat ini kemajuan AI telah pada titik mencapai kemampuan melakukan otomasi analitik yang membuat banyak profesi seperti guru, dosen, saintis, ahli hukum, pegawai bank, hingga dokter terancam hilang digantikan oleh AI. Akan muncul jenis pekerjaan baru yang kita belum tahu seperti apa”.
“AI saat ini dan mungkin dekade ke depan masih lebih banyak digunakan untuk meningkatkan produktivitas secara drastis di segala bidang seperti perdagangan, pendidikan, kesehatan, tetapi AI juga punya potensi resiko besar bagi eksistensi kemanusiaan jika kita salah menanamkan sistem nilai (values) ke dalam algoritmanya.”
“Kita harus dapat mewujudkan pendidikan yang membangun keindonesiaan, yakni, selain kuat dalam berpikir kritis, kreatif, dan etis, juga memiliki pemahaman mendalam tentang identitas, nilai budaya, dan potensi Bangsa Indonesia. Sikap keindonesiaan ini yang pada akhirnya akan melahirkan sistem nilai estetik pada diri setiap individu generasi kita untuk tetap menjaga moral etis dan moral sosial bangsa, di tengah derasnya arus perubahan zaman.”
“Itu adalah kunci dalam membentuk individu yang utuh dan mandiri sehingga siap menghadapi dan bertanggung jawab untuk menghadapi tantangan global dan disrupsi digital,” tegas Rizal.
“Kuncinya ada pada penanaman rasa ingin tahu dan sikap otonom agar tidak dikendalikan sebagai budak oleh teknologi. Mendidik manusia yang punya mental untuk terus mau mempelajari hal baru, resilien saat beradaptasi dengan keadaan dan menjadi manusia yang mandiri adalah tujuan utama kurikulum dan paradigma baru yang harus diajarkan pada murid agar siap menghadapi masa depan,” ucap Rizal.
“Dengan menjadi manusia otonom, maka anak-anak kita tidak akan dikendalikan oleh AI, justru menjadi pengendali AI sebagai asisten super jenius, bukan alien yang membahayakan eksistensi manusia di masa depan,” tambahnya.
Jika dulu, saat sumpah pemuda, kita berikrar bersatu untuk bebas dari penjajahan fisik oleh Belanda, maka saat ini para guru, orang tua dan kalangan mahasiswa hadir mengikuti rangkaian seminar GSM untuk bersatu dan bermimpi agar seluruh rakyat Indonesia bisa merdeka dari keterjajahan teknologi digital.
Satu yang tidak pernah berubah kala GSM menggelar sebuah kegiatan adalah tanggapan dari masyarakat yang tidak pernah sepi. Total ada lebih dari 750 guru juga orang tua dari lintas jenjang PAUD-TK, SD, SMP, SMA, SMK hingga Madrasah, dan dari Bondowoso, Situbondo, Jember, Banyuwangi, hingga Pangandaran dan Jepara. Bukan hanya Guru, termasuk anak muda yang berjumlah sekitar 230 orang dari berbagai kampus yang ada di Bondowoso, Situbondo, dan Jember.
Anik Sudiartini, leader Komunitas GSM Sibon yang juga Kepala Sekolah SMK Negeri 3 Bondowoso mengungkapkan “GSM dampaknya secara nyata telah kami rasakan, maka kami ingin terus memendarkan GSM agar dampaknya lebih luas lagi dan semua punya kesempatan untuk berperan dalam gerakan perubahan ini”.
“Hal tersebut menandakan bahwa adanya keberanian, serta perubahan cara pikir dan mental dari guru-guru di Bondowoso bahwa setiap individu berhak merasakan akses dan kesetaraan bagi pendidikan masa depan layaknya visi yang konsisten digaungkan oleh GSM. Tidak boleh ada disparitas kualitas antara daerah perkotaan dan pedesaan atau pinggiran”, tambah Rizal.
Cara guru-guru dan mahasiswa di komunitas GSM membangun kualitas diri untuk bisa beradaptasi di era ketidakpastian (disrupsi digital) adalah punya mindset dan mental untuk terus-menerus mau belajar, lapar akan rasa ingin tahu tentang hal-hal baru, termasuk literasi teknologi, tetapi juga punya sikap otonom agar tidak dikendalikan menjadi budak teknologi.
Untuk merawat pola pikir dan mental itu, komunitas akar rumput GSM menjadi wadahnya. Melalui komunitas GSM ini, mereka menguatkan mimpi akan pendidikan Indonesia yang baru, menarasikan mimpi itu, menyebarkannya ke guru-guru lain, orang tua, anak muda di seluruh lapisan dan daerah agar terus menguat membangun pembelajaran yang transformatif dari skala diri, kelompok, organisasi hingga tingkatan ekosistem bangsa.
Cara pikir ini sejalan dengan nafas dan spirit yg diperjuangkan di sumpah pemuda hampir 100 tahun lalu, memastikan semua lapisan rakyat dari seluruh daerah dapat merasakan menjadi bangsa yang benar-benar merdeka dan berdaulat.
Penulis: Dimas Adytya Putranto
Editor: Viska Erma Mustika
0 Comments