Sebanyak 500 pengajar dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul di Auditorium Universitas Nahdlatul Ulama, Yogyakarta pada Sabtu, (20/12) kemarin. Di ruang besar tersebut Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) kembali menggelar Ngkaji Pendidikan dengan perhatian besar terhadap “Human and Education Reset”.
Muhammad Nur Rizal (Founder dari GSM) menuturkan bahwa kata ‘Reset’ dipilih bukan tanpa alasan.

“Istilah tersebut dipakai karena artinya bukan sekadar memulai ulang atau restart, tetapi menata ulang sistem. Kita kembali ke mode dasar manusia untuk membangun pola pikir baru yang jernih dan sehat,” ucap Rizal.
Rizal turut mengajak para guru untuk menyadari peran krusial pendidikan dalam membangun kualitas manusia yang siap dalam mencegah dan menanggulangi krisis.
Pertama-tama, para guru diajak melihat ulang sejarah meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1815. Sebuah peristiwa yang memicu pendinginan global, “The year without summer”, gagal panen, krisis pangan, hingga instabilitas politik di Eropa dan Amerika Utara.
“Jangan anggap kalau bencana, seperti banjir ataupun tanah longsor itu murni gejala alam. Tentunya ada dampak dari ketidaksiapan manusia. Anggapan bahwa manusia hanya menjadi objek bencana, alih-alih yang dapat mencegahnya lewat ilmu pengetahuan dan kebijakan merupakan sesuatu yang perlu diluruskan lewat pendidikan,” tegas Rizal.
Kasus nyatanya adalah bencana yang terjadi di Sumatera. Rizal menuturkan kalau bencana tersebut bisa terjadi, salah satunya karena kekeliruan persepsi tentang hutan yang dianggap ruang transaksi investasi belaka.
Data menunjukkan deforestasi yang masif sejak 1990-an telah mengubah fungsi hutan secara drastis. Sekarang, hanya ada sekitar 10% air yang terserap, sementara 90% lainnya langsung menjadi limpasan permukaan, sehingga memicu banjir bandang dan longsor.
Rizal juga menyinggung tentang kerugian ekonomi yang justru melampaui manfaat ekonomi dari aktivitas eksploitasi sumber daya alam. Kesimpulan tersebut diangkat dari data nilai bersih ekonomi lewat eksploitasi hutan. Angka 0,81% PDB turun menjadi 0,4% saja, di tengah hutan yang justru kian rusak.
“Sayang sekali bahwa kita mencetak banyak siswa dan sarjana, tetapi keputusan yang diambil masih banyak mengabaikan data, logika, dan moral,” tutur Rizal.
“Ekonomi dijalankan secara ekstraktif. Untung diraih dengan merusak alam, alih-alih mencipta inovasi yang selaras antara manusia dan bumi,” tambahnya.

Berikutnya, topik pembicaraan digiring kepada awal mula dari kehancuran peradaban yang bermula dari ketidakmampuan manusia mengontrol kemajuan teknologi. Perkembangan dunia kian menjadi paradoks yang ditandai oleh beberapa gejala.
“Kita semakin terhubung, sekaligus kerap terasing. Kita semakin mudah belajar, tetapi lebih mudah malas. Kita lebih cepat mendapat informasi, namun kebenaran juga makin kabur. Kecerdasan terus meningkat, tetapi kebijaksanaan justru tertinggal,” pungkas Rizal.
Akal Imitasi (AI) yang semula diproyeksikan sebagai alat pendukung produktivitas manusia, kini mulai mengambil alih kuasa sebagai pengatur tata kelola dunia.
Rizal berkata, “Inilah titik diperlukannya Human Reset. Indonesia dapat perlahan mengatasinya dengan mengokohkan fondasi kemanusiaan. Dengan menanamkan cara berpikir, merasa, dan mengambil keputusan yang etis bagi semua.”
Rizal juga menyampaikan tentang fondasi kemanusiaan yang terdiri dari berpikir jernih, membaca realitas, memberi makna, membedakan benar-salah, serta berdampingan dengan alam serta teknologi.
Para guru di Indonesia harus belajar dari kisah “Api Prometheus”. Sebuah cerita tentang dewa yang rela dihukum demi memberikan api pengetahuan kepada manusia. Hal tersebut dilakukan karena ia merasa bahwa kemanusiaan adalah jiwa yang mampu memberikan keselamatan bagi dunia.
Sayangnya, pendidikan di Indonesia justru berjalan ke arah yang sebaliknya. Belenggu kian tercipta ulah masyarakat yang meninggalkan logika, sains, moral, dan kearifan.
“Pendidikan di Indonesia saat ini kehilangan dua hal sekaligus, yaitu alat berpikir dan rasa keteraturan alam. Tanpa keduanya, pendidikan hanya melahirkan manusia yang cerdas, tetapi rapuh secara moral,” ucap Rizal.
“Pendidikan memang seharusnya tidak sekadar mencetak pekerja, tetapi juga membangun manusia yang utuh. Seperti kata Ki Hadjar Dewantara,” tambahnya.
Selanjutnya yang juga diangkat sebagai bahasan adalah education reset. Sebuah kerangka dasar untuk memulihkan cara berpikir, merasa, dan bertindak dari manusia.
Rizal menegaskan kalau kecerdasan yang dibutuhkan oleh guru dan murid bukanlah soal kepintaran administratif, tetapi mampu mengaitkan antar cabang ilmu.
“GSM tidak mengajak para guru untuk berkurikulum atau belajar metodologi baru, tetapi cukup untuk menjadi manusia. Menjadi pendongeng yang mampu mengajak refleksi atau dialog,” pungkas Rizal.
Rizal pun bertutur kalau GSM itu mengajarkan liberal arts sebagai praktek hidup. Di mana para guru dan murid mesti diberikan kebebasan dan kemerdekaan yang dibersamai dengan tuntunan ke arah yang jelas.
Kegiatan Ngkaji Pendidikan diakhiri dengan sebuah pertanyaan tentang, “Bagaimana keputusan yang diambil manusia semakin destruktif terhadap bumi, ketika perkembangan teknologi sudah cukup pesat untuk mengetahui akibatnya?”
Penulis: Dimas Adytya Putranto
Editor: Viska Erma Mustika
0 Comments