Sayang sekali, suasana kemerdekaan Indonesia justru mesti dinodai oleh huru-hara lunturnya jiwa berdemokrasi. Menyikapi hal tersebut, Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) kembali mengadakan program Ng(k)aji Pendidikan dengan tema spesial, yaitu “Menemukan Kembali Indonesia”.
Pagelaran diisi dengan bermacam-macam mata acara. Utamanya adalah orasi dari Muhammad Nur Rizal, Ph.D., founder dari GSM yang diikuti dengan antusiasme kegiatan tanya jawab dari para peserta.
“Jika ingin menemukan Indonesia, maka narasikan kembali sejarah dan kemajemukan Bangsa Indonesia. Ajak anak-anak untuk berimajinasi ingin menjadi apa. Arahkan proses belajarnya untuk mempunyai antusiasme perangai ilmiah. Dengan narasi, maka akan ditemukan kembali marwah Indonesia dari ruang-ruang kelas,” kata Rizal dengan tegas.
Pada Sabtu, 24 Agustus 2024, bangku penonton Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta berhasil dipenuhi oleh lebih dari 800 orang, terdiri atas guru ataupun pegiat pendidikan yang hadir mewakili sekitar tujuh puluh komunitas daerah GSM yang tersebar di seluruh negeri.
Dampak dari GSM terhadap ekosistem pengajaran di setiap kota nampak nyata, dibuktikan oleh banyak komunitas yang tetap meyakinkan diri untuk hadir, meskipun terpaut jarak yang amat jauh dari lokasi acara. Beberapa komunitas GSM yang terjauh dari Kota Yogyakarta adalah Bali, Palembang, Sumatera Utara, sampai Kalimantan Timur. Mereka hadir dengan murni menggunakan biaya sendiri. Hal ini kian memperlihatkan sebegitu mereka menganggap pentingnya konferensi ini.
“Dari Kota Bontang berangkatnya malam, lalu, sampai di bandara subuh. Perjalanan ke Balikpapan dulu selama 6 jam. Semua ini demi mendengarkan orasi dari Pak Rizal, sekaligus bertemu dengan guru-guru se-Indonesia,” ungkap Zizah, seorang guru dari GSM Bontang.
“Seiring semangat kami membara, mudah-mudahan dapat membawa manfaat dan menularkan ke yang ada di Kota Bontang,” tambahnya lagi.
Sebagai narasumber sekaligus tuan rumah, Rizal menanggapi fenomena tersebut dengan penuh syukur dan senang hati. Ia menjadi optimis bahwa masih banyak orang yang gairah keindonesiaannya tinggi, tinggal bagaimana kita menguatkan kembali jati diri para guru melalui narasi kebesaran sejarah nusantara, serta melibatkan aspirasi mereka, dan mendorong untuk menyebarluaskan ke guru lainnya.
Usungan tema “Menemukan Kembali Indonesia” bukanlah tanpa alasan. Rizal meresahkan reputasi Indonesia yang kian menurun sebagai sebuah bangsa yang besar. Ia meyakini, hal tersebut dapat diatasi dengan penyebaran narasi yang menyoroti sejarah dari Indonesia.
Beberapa yang terus diangkat oleh Rizal adalah fakta bahwa Candi Muaro di Jambi pada era Sriwijaya berperan selayaknya Oxford bagi pembelajaran Agama Buddha oleh dunia di masa lampau dan bagaimana model pertanian “subak” atau terasering yang kerap digunakan Kerajaan Mataram Kuno, saat ini dianggap sebagai sesuatu yang berkelanjutan dan mampu dijadikan pengendali iklim paling alamiah.
“Indonesia tidak hilang secara fisik. Teritorialnya juga tidak berkurang sedikit pun, tetapi yang hilang adalah reputasinya di kancah internasional. Kita tidak banyak dibicarakan, seakan tidak seperti negara yang besar di Asia, bahkan Asia Tenggara,” ucap Rizal.
“Bangsa yang berpengetahuan dan berteknologi dari kearifan dan kebudayaan lokal. Nah, itu yang harus digali, lalu, diimajinasikan bangsa itu mau ke mana dengan narasi. Harapannya, narasi itu tidak berhenti di kegiatan Ng(k)aji Pendidikan, tetapi juga mampu disebar oleh peserta yang hadir kepada kawan guru lainnya,” tambahnya.
Guru-guru yang hadir juga sempat membagikan kesannya atas penyelenggaraan acara ini, juga pengalamannya berkembang bersama GSM.
“Berlatih bersama GSM, saya menjadi tahu esensi penyaluran energi dari seorang guru. Pelatihan biasanya hanya berisikan pembuatan soal, kisi-kisi, dan membenarkan indikator. Lain hal dengan GSM, saya diberi tahu pentingnya menarasikan keunggulan Indonesia agar murid menjadi bangga terhadap bangsanya. Mengajar tidak sebatas memaksa mereka untuk menghafal.” ungkap Wiwik Budi Asih dari SDN Pondok Kacang Barat 03 Tangerang Selatan.
Sudut pandang lainnya dapat kita cermati atas pengakuan Asri Agustini yang datang jauh-jauh dari Palembang ke Yogyakarta hanya untuk mengikuti program Ng(k)aji Pendidikan.
“Ketika sudah tersentuh di hati, maka biaya tidak jadi masalah. Motivasi saya untuk datang jauh-jauh adalah karena adanya kegelisahan dan kebutuhan akan spirit yang menguatkan dari komunitas-komunitas lainnya, serta Ibu Novi dan Pak Rizal.” ucap Sri yang merupakan kepala sekolah dari SDN 242 Palembang.
Rizal menguatkan para peserta bahwa kemungkinan untuk “Menemukan Kembali Indonesia” itu masih amat besar dan nyata. Ia menuturkan kalau Indonesia dapat dijadikan pusat sumber energi terbarukan di dunia, salah satunya lewat Sungai Mamberamo di Papua sebagai sumber energi listrik berbasis air terbesar di dunia, setara dengan China yang mencapai hingga 22 Gigawatt hours.
Selain itu, melimpahnya cadangan panas bumi, biodiversitas yang beragam sebagai sumber teknologi pangan dan obat-obatan, hingga kemajemukan budaya yang dapat dimanfaatkan sebagai pusat pluralisme kebudayaan dunia adalah potensi-potensi yang diserukan Rizal atas Indonesia.
“Hal-hal ini harus dijadikan semangat atau spirit untuk mengimajinasikan Indonesia di masa depan, bukan hanya sebatas konten di kurikulum yang dihafalkan,” tutur Rizal.
“Kalau saja keragaman suku yang ada di Indonesia dijadikan film semacam Hollywood atau Drama Korea, nanti bisa jadi besar sekali dan mengerikan, Indonesia ini,” tambahnya.
Selain orasi dari Rizal, terdapat juga aksi hiburan berupa sitkom dari GSM yang preferensi topiknya berasal dari kondisi kehidupan bernegara di Indonesia yang carut-marut belakangan ini. Di sisi lain, ada pula aktivitas yang menyentuh hati, seperti curahan hati dari guru-guru yang menghadiri acara, serta performa penutup oleh Novi Poespita Candra, selaku co-founder dari GSM yang membacakan puisi “Aku Melihat Indonesia” karya Ir. Soekarno dengan amat elok.
Penulis: Dimas Adytya Putranto
Editor: Viska Erma Mustika
0 Comments