GSM

Guru memiliki pengaruh yang amat signifikan terhadap kualitas bangsa. Para siswa sebagai pembawa harapan atas masa depan yang cerah akan ditumbuhkembangkan dan dididik oleh guru. Sayangnya, masih banyak guru yang salah kaprah dalam menjalankan perannya. Proses mengajar seringkali hanya berfokus pada metode tanpa keberadaan ruh yang sejatinya merupakan sumber hidupnya nyawa baik untuk pengajar maupun pelajar.

Pada acara “Sapa Leader” oleh Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Novi Poespita Candra yang merupakan Co-founder dari GSM dihadirkan untuk membagikan gagasan. Acara dengan tajuk “Rumah Kedaulatan, Pengharapan, & Kebermaknaan bagi Guru Indonesia” diadakan pada hari Jumat, 29 November 2025 secara daring.

Novi berangkat melalui kebijaksanaan yang datang dari seorang filsuf asal Brazil bernama Paulo Freire. Ia memotret kehidupan Freire dengan lugas mengenai bagaimana sang filsuf berkeyakinan atas pendidikan yang membebaskan dan bahwa tiap manusia mampu menentukan nasibnya sendiri, alias berdaulat.

“Sebagai guru, bahkan sebagai manusia, kita perlu untuk berdaulat. Berdaulat yang hidup tanpa cekalan dan mampu menentukan nasib sendiri,” tutur Novi.

Novi juga menyetujui apa yang digaungkan oleh Freire, bahwa sistem pendidikan yang disusun demi mencetak angkatan kerja saja adalah buruk. Dampaknya adalah mendesain anak-anak yang cenderung bergerak hanya ketika ada arahan saja dan terbangunnya sekat yang menjauhkan pembelajaran di kelas dari budaya daerah setempat.

Pedagogi tersbut adalah salah satu dari tiga yang dibagikan oleh Novi, yaitu pedagogi pembebasan. Dua lainnya, yaitu pedagogi pengharapan dan pedagogi hati.

“Hal-hal fatal, seperti bunuh diri tidak jarang dijadikan sebagai sebuah jalan keluar ketika seseorang tidak lagi punya pengharapan. Pendidikan sejatinya menumbuhkan harapan pada setiap pelakunya maka ketika yang terjadi malah sebaliknya, itu menjadi sebuah pertanyaan besar,” ungkap Novi.

Tanpa upaya penumbuhan pengharapan pada setiap murid yang dilakukan oleh guru maka kecenderungannya adalah timbul kelelahan eksistensial, tidak adanya dialektika, dan juga penutupan diri akan sejarah. Pendidikan seperti itu dapat diistilahkan sebagai pendidikan mekanistik, yaitu pendidikan yang fokusnya ada pada administrasi, teknis, profesi, dan pelatihan saja. 

“Ketika hilang pengharapan maka akan muncul masalah-masalah, seperti keterpecahbelahan dan persaingan. Padahal, sejatinya pendidikan itu perlu didasarkan pada persaudaraan,” tegas Novi.

“Sistem dan kultur juga berperan dalam membuat para guru sedemikian sibuk hingga tidak punya waktu untuk berdialog dengan siswanya. Padahal, itu adalah kunci dari penciptaan rumah, sebagai tempat adanya ruh dan pengharapan,” tambahnya.

Novi juga bertutur mengenai apa saja diskusi yang perlu dibawakan oleh guru di dalam kelas, yaitu mengenai masa lalu (sejarah), kini (keterampilan), dan depan (mimpi). Proses belajar yang didasarkan secara dialektis dan kontekstual melalui tiga hal itu dapat melahirkan kesadaran kritis di dalam benak tiap murid yang membawa mereka kepada kedaulatan hingga mencapai kehidupan yang penuh kebahagiaan dan kebermaknaan.

Sebagaimana fokus yang diberikan oleh GSM terhadap guru yang meraki, Novi juga menyinggung bagaimana GS, dapat dimanfaatkan sebagai tempat yang selalu terbuka untuk mereka.

“Setiap orang perlu punya tempat untuk pulang. Rumah yang penuh akan kasih sayang, penerimaan, dan kebersamaan,” tutur Novi untuk menjelaskan bahwa setiap guru dapat menjadikan GSM sebagai tempat bertumbuh dan berefleksi.

GSM dapat dimaknai sebagai sebuah “rumah” bagi para guru. Rumah yang artinya tidak terbatas pada bangunan fisik, tetapi ikatan yang didalamnya penuh akan pengharapan, kedaulatan, kesetaraan, dialektika, dan kejujuran. Novi menaruh harapan yang amat besar bagi para guru dan membantu mereka dengan mengejawantahkannya ke dalam visi GSM yang menaruh kepedulian besar terhadap guru sebagai pahlawan yang mulia.

Begitulah cara GSM memberi dampak terhadap pegiat komunitasnya. Sesuai dengan namanya, penciptaan sekolah yang menyenangkan ini berarti untuk keseluruhan proses dan semua yang terlibat, termasuk guru sebagai pengajar. GSM berusaha menjadi tempat yang nyaman bagi para guru untuk bernaung sambil berjuang secara keras dalam mengusahakan pendidikan yang memanusiakan.

Cara GSM dalam mewujudkan visi tersebut adalah dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat mengembangkan dan memberdayakan potensi para pengajar. Selain itu, juga ada acara yang berbentuk dialektika antar pegiat, supaya setiap guru dapat saling memberi inspirasi dan penguatan satu sama lain.

Pada acara “Sapa Leader”, juga muncul komentar-komentar dari para pegiat mengenai dampak nyata GSM.

Pertama, bagaimana salah seorang pegiat yang menganggap GSM lebih dari sekadar komunitas, tetapi sekolah pikiran. Sebuah tempat yang mampu meningkatkan keterampilan dari guru-guru dalam berpikir dengan asas solidaritas dan kekeluargaan di antara tiap anggotanya.

“GSM mengajak tiap guru untuk konsisten dalam berkarya. Selain itu, seperti yang kita tahu, salah satu hal yang dapat dikendalikan oleh kita adalah pikiran, dengan memilih baik dan buruknya. Di GSM, selain menjadi rumah yang menyediakan ruang ketiga, tetapi juga berhasil menjadi sekolah pikiran. Itulah perbedaan dari GSM dengan gerakan lainnya,” ucap Reynold, salah satu pegiat GSM dari Supiori, Papua.

Berikutnya, seperti acara-acara GSM lainnya, selalu timbul pengakuan reflektif yang menyentuh hati. Refleksi tersebut berisikan perasaan penuh syukur atas apa yang didapat selama berkegiatan bersama GSM.

“Terima kasih Ibu Novi sudah memberikan penguatan untuk saya. Sebetulnya saya seperti tikus-tikus tadi. Di mana lingkungan saya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Melalui narasi-narasi dari Pak Rizal dan Ibu Novi, saya berpikir untuk meneguhkan diri saya,” ungkap Sari Nursanti dari Sukabumi.

“Dialog semacam ini memang diperlukan sekali oleh guru-guru dimanapun berada. Rasanya, jadi ingin untuk menyebarkan ini ke sekolah, setidaknya ke tempat saya mengajar dulu. Semoga bisa menjadi guru-guru yang meraki. Terima kasih sudah menerima saya dengan baik,” tambahnya.

Lalu, ada juga komentar yang menyatakan bahwa GSM berhasil menjadi tempat tinggalnya ruh bagi guru-guru. Rumah yang selalu mampu menjadi penyemangat bagi para guru untuk terus bermakna.

“Ruh saya memang sudah ada di GSM. Malam hari ini, saya mendapatkan kekuatan baru. Tambahan energi baru untuk setiap nafas kita dipakai untuk mendidik. Saya terkenang mengenai diskusi tentang masa lampau, kini, dan depan yang sering saya lakukan di kelas. Terima kasih, Ibu Novi, malam ini menjadi penyemangat saya untuk berusaha terus,” kata Diyarko yang merupakan salah seorang pegiat GSM.

Penulis: Dimas Adytya Putranto

Editor: Viska Erma Mustika

Categories: Informasi

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.