Sup yenaiwa mios yenaiwun yaswar nabo..yasubay ma yansandik na rawo…
Supiori bon naiwa Padaido yen naibun…Numfori supo byaki marares
(Ku teringat negeri dan pulauku di sana yang sangat ku puja, di sana gunung Supiori dan pulauku Padaido, Biak Numfor pulau kebanggaanku…)

Tidak akan ada yang menyangka bila ada rencana belajar yang meluap-luap tersembunyi di ujung pulau Papua dan berpadu dengan keindahan alam pantai yang masih asri bagaikan sempilan sorga.
Siang itu, sayup-sayup tembang klasik berbahasa Biak “Sup Yenaiwa” (kuteringat negeri dan pulauku di sana) terdengar merdu didendangkan segerombolan siswa di bawah pohon kelapa yang meneduhkan kontras teriknya matahari Pulau Supiori. Tiap syairnya tampak sangat diresapi sebagai bentuk penghormatan mereka pada nilai-nilai warisan leluhur yang wajib dipatuhi dan dilestarikan. Beberapa siswa dari Porisa dan Meosbefondi bersama dengan siswa-siswa dari Sawendi begitu meresapi lagu itu. Anak-anak dari Porisa dan Meosbefondi yang mencari ilmu jauh ke kampung Sawendi mendendangkan lagu itu sebagai bentuk kerinduan pada kampung mereka di sebrang lautan pulau Sawendi.
Di bibir pantai siswa laki-laki tampak berlarian mengejar ombak yang berbuih ditimpali kicau burung manyouri (nuri) yang terkenal memiliki suara merdu. Mereka tidak sekadar berlari, tetapi sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti kompetisi lari.
Bersandar di pokok nyiur yang menjuntai ke laut beberapa anak sibuk menyoret buku sambil sesekali mengeryitkan dahi menandai mereka sedang berpikir keras menyelesaikan PR yang diberikan oleh guru.
Di gundukan pasir yang tempatnya agak jauh dari bibir pantai sekumpulan siswa duduk membentuk lingkaran riuh rendah berdiskusi menyiapkan beragam kegiatan OSIS.
Semua anak tampak bersemangat melakukan aktivitas masing-masing bahkan tidak peduli bila hari telah beranjak petang dan jam belajar telah berakhir sejak dua jam yang lalu. Semangat belajar dalam suka cita yang dibalut indahnya panorama alam telah membius mereka pada satu niat menjadi anak Indonesia yang berkualitas.
Sempilan surga di pantai Yembekwan ini tidak hadir begitu saja, tetapi merupakan buah kerja keras seorang perempuan tangguh, Yulianingsih. Meskipun saat ini menjabat sebagai Kepala SMP Negeri Sawendi, tetapi perjuangannya sudah dimulai sejak beliau memulai profesi sebagai guru di tanah Papua.

SMP Negeri Sawendi terletak di Pulau Supiori yang diklasifikasikan dalam daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Untuk menuju ke sini perlu menempuh perjalanan darat dan laut selama 5 jam untuk mencapai lokasi sekolah di Yembekwan. Distribusi alat peraga untuk menunjang proses pembelajaran memakan waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang tak sedikit. Apabila musim ombak pasang tiba maka seluruh rantai distribusi barang akan terputus.
Di sisi lain, pasokan listrik belum terpenuhi sehingga diperlukan genset untuk mengoperasi media pendidikan elektronik seperti tablet, komputer, dan proyektor. Panel surya yang tersedia hanya cukup untuk menyalakan lampu saja. Kampung Sawendi yang dikelilingi oleh lautan menuntut masyarakatnya untuk berprofesi sebagai nelayan. Selain sebagai nelayan, masyarakat Sawendi juga bercocok tanam sebagai petani. Pada musim-musim tertentu, beberapa siswa tidak bisa hadir secara fisik di sekolah karena harus membantu orang tua berkebun atau mencari ikan di laut
Ia tidak menyangka bahwa sekolahnya, yang pernah ditutup akibat konflik tanah adat hingga akhir 2022 dan harus menumpang di SD tetangga, kini telah berkembang menjadi Sekolah Penggerak yang sukses menjadi contoh dalam menciptakan atmosfer pendidikan yang menyenangkan dan inspiratif. Titik balik dimulai setelah perenungan Yulianingsih mengenai kondisi pembelajaran di SMP Negeri Sawendi yang dulu serba terbatas. Ia hanya dipinjami 2 ruang kelas yang hanya dapat dioperasi untuk sekolah mulai pukul 11 siang hingga pukul 3 sore. Para siswa mengeluh sulit berkonsentrasi pada pembelajaran karena sudah lapar dan mengantuk. Guru-guru pun mengalami kendala untuk mengoptimalkan kegiatan pembelajaran. Meski demikian, di tengah segala hambatan, Yulianingsih tetap mengobarkan lentera pendidikan yang penuh kreasi. SMP Negeri Sawendi sukses menyabet Juara 2 Kreasi Video Tiktok yang diadakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Supiori dalam rangka Hari Guru Nasional. Ia dan beberapa rekan guru dihadiahi perjalanan lokakarya ke Yogyakarta oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Supiori untuk mengenal Gerakan Sekolah Menyenangkan.

Sekembalinya dari Yogyakarta, Yulianingsih begitu terinspirasi untuk mentransformasikan sistem pembelajaran di sekolahnya. Ia mencetuskan motto “di sini senang, di sana senang, di mana-mana senang karena kami sekolah menyenangkan”. Bersama dengan 8 guru lain, Yulianingsih mengajak para siswa untuk belajar menembus batas ruang kelas. Pembelajaran dilakukan berpindah-pindah dari pinggir pantai, hutan, hingga teras Puskesmas Pembantu Sawendi. Siswa belajar sembari mengenal alam dan tidak terbatas pada materi teoretiis kurikulum. Siswa juga menimba ilmu mengenai pentingnya lingkungan alam yang terjaga kelestariannya. Selaras dengan kearifan lokal suku Biak dalam bingkai tradisi Molo, Balobe, dan Bameti yang artinya tanah dan laut merupakan ibu dari warga pulau yang harus dihormati dan dilindungi. Oleh karena itu, siswa memiliki kesadaran untuk terus melestarikan adat dan tradisi warisan nenek moyang sebagai bentuk konservasi ekosistem Pulau Supiori agar tetap berkelanjutan.
Seiring dengan dibukanya kembali bangunan SMP Negeri Sawendi pada akhir tahun 2022, Yulianingsih bahu-membahu dengan guru-guru untuk memperindah sekolah dengan berbagai zona penuh makna. Zona kedatangan hadir untuk melatih kedisiplinan siswa memasuki jam pelajaran, bintang kebaikan hadir untuk memberi apresiasi siswa yang berprestasi, zona emosi hadir sebagai ruang bagi siswa untuk menumpahkan emosi dengan tepat seraya menjalin kedekatan hubungan guru-murid, pohon harapan hadir untuk mendorong siswa memiliki cita-cita dan impian yang tinggi, dan kursi sakti yang menjadi tempat relaksasi bagi siswa atau guru yang sedang jenuh mengikuti kegiatan pembelajaran.

Meski respons positif telah hadir dari seluruh siswa SMP Negeri Sawendi yang berjumlah 71 orang, perubahan yang diinisiasi Yulianingsih tetap mendapat tantangan dari faktor geografis kepulauan. Lokasi sekolah yang jauh dari pemukiman warga membuat siswa harus menempuh perjalanan yang jauh melewati bebatuan tajam di pinggir pantai dan perbukitan untuk tiba di sekolah. Jika cuaca tidak bersahabat maka siswa tidak bisa ke sekolah. Jika musim ikan datang maka beberapa siswa harus membantu orang tuanya untuk mencari ikan. Ketika orang tua bercocok tanam dan siswa harus membantu menjaga adiknya di rumah maka siswa tidak akan ke sekolah. Untuk mengatasinya, guru-guru memberikan berbagai macam tugas yang tidak memberatkan, tetapi tetap mencerdaskan siswa misalnya tugas bahasa Indonesia yang menulis pengalaman mencari ikan di laut atau bercerita pengalaman menjaga adik di rumah. Yulianingsih juga melarang adanya jam kosong di sekolah. Ia berpendapat sepanjang waktu sekolah adalah hak siswa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan secara optimal. Apabila ada guru yang berhalangan hadir karena harus menyeberang ke pusat kota mencari bama atau keperluan lainnya, tidak diperbolehkan untuk meninggalkan tugas. Kegiatan pembelajaran harus dialihkan secara daring melalui Zoom atau Google Meet.

Yulianingsih begitu bangga dan bersyukur dapat mengenal dan mengimplementasikan Gerakan Sekolah Menyenangkan. Kini, para siswa SMP Negeri Sawendi begitu bersemangat dalam bersekolah. Mereka aktif berdiskusi dan mengekspresikan diri dalam setiap kegiatan pembelajaran serta cepat tanggap memahami materi pelajaran. Yulianingsih aktif mengajak sekolah-sekolah tetangga untuk turut serta bertransformasi demi pendidikan yang lebih memanusiakan. Ia percaya ekosistem pendidikan yang menyenangkan akan membentuk generasi-generasi unggul yang berintegritas menuju terwujudnya Indonesia Emas 2045.
Penulis: Nailu Nada Zara
Editor: Ratu Mutiara Kalbu
0 Comments