Siswa mengalami perubahan dari sisi karakter dan sikap. Tidak ada lagi teriakan dan luapan kemarahan di dalam kelas. Siswa pun mulai memperlihatkan rasa menghargai akan apa yang orang lain lakukan dan apa yang temannya berikan …. Mereka memiliki rasa keingintahuan akan cerita masa lalu bangsa Indonesia dengan permintaan tiada usai akan kisah-kisah lainnya.
Ibu Riva berpesan kepada para pendidik anak bangsa untuk tidak malu mengakui kesalahan. Semua kekhilafan yang ada sebaiknya menjadi renungan untuk memperbaiki diri sebelum akhirnya dapat memupuk keberanian untuk menarasikan Indonesia di ruang kelas.
Bagi Ibu Riva, semua bermula dari pengamatannya pada seorang siswa kelas satu yang sangat tertarik dengan sejarah Indonesia. Pada usianya yang masih belia, siswa tersebut telah memahami berbagai cerita masa lampau bangsanya sendiri. Hal ini menjadi panggilan pertama untuk pribadi Ibu Riva, membuatnya merenungkan apa yang sudah dilakukannya selama ini untuk mengenal Indonesia dan menceritakan Indonesia kepada peserta didiknya. “Saya sampai heran. Dari anak itu saya mikir, anak saya saja yang anak kelas satu bisa kayak gini, dia sangat tertarik dengan sejarah, kok saya yang gurunya … saya malu pokoknya gitu ya kan. Saya malu,” tuturnya.
Hadirnya Ibu Riva sebagai peserta pada acara Ngkaji Pendidikan bertajuk “Menemukan Kembali Indonesia” semakin memantapkannya untuk berbenah. Beliau mengaku telah melangkah terlalu jauh dari kearifan bangsanya sendiri dan lebih banyak menikmati euforia kebudayaan bangsa lain. Perasaan bersalah pun mulai mengisi hatinya. “Saya menjauhkan diri saya dari rasa cinta saya kepada negara saya, dan juga menjauhkan anak-anak didik saya dari rasa cinta terhadap negaranya sendiri,” sesalnya. Guru SD Negeri 4 Krandegan ini melanjutkan dengan menyampaikan sebuah tekad untuk bertobat yang menguat sepulangnya dari acara tersebut; tekad untuk menapak garis mula baru untuk menarasikan Indonesia di ruang kelas.
Keinginan Ibu Riva untuk mengenalkan Indonesia dan menanamkan rasa cinta terhadap Indonesia diwujudkan salah satunya dalam kegiatan circle time. Setiap paginya, beliau dan para siswa duduk bersama dalam formasi melingkar untuk membahas segala hal yang berkaitan dengan Indonesia. Dengan memulai percakapan dari hal yang terdekat dengan diri siswa seperti cita-cita, Ibu Riva mengaitkannya dengan kondisi masa lalu bangsa. Selain itu, beliau juga menarasikan sejarah masa lalu Indonesia yang ternyata dapat memantik impian masa depan siswa, seperti halnya pada seorang siswa yang mengungkapkan bahwa ia ingin menjadi seorang polwan setelah mendengarkan cerita Ibu Riva tentang armada kuat yang dimiliki Kerajaan Majapahit.
Mengenalkan pahlawan nasional kepada siswa merupakan aksi lain yang dilakukan Ibu Riva. Dirinya mencoba membuat puzzle figur pahlawan nasional dengan media sederhana berupa lembaran kertas HVS. Beliau meminta siswa untuk menyusun puzzle tersebut, kemudian bertanya kepada mereka apa yang ingin mereka ketahui tentang tokoh yang ada pada puzzle tersebut. Tak hanya menyusun puzzle bersama di kelas, Ibu Riva juga memberikan tugas kepada siswanya untuk menyusun puzzle bersama orang tua di rumah. Beliau memberi kebebasan kepada siswa dan orang tua untuk mengkreasikan lembaran puzzle yang dibagikan. Harapannya, orang tua juga dapat mengenal tokoh pahlawan nasional bersama anak mereka. Puzzle tersebut kemudian dibawa ke sekolah dan peserta didik dipersilakan untuk menceritakan kisah tokoh dalam puzzle di hadapan siswa yang lain.

Dari kegiatan tersebut, Ibu Riva menemukan refleksi berkesan dari seorang siswa yang membawa puzzle Soekarno. Siswa tersebut bercerita mulai dari keberadaan wajah tokoh tersebut pada uang seratus ribu rupiah hingga andilnya dalam proklamasi kemerdekaan. Lebih lanjut, siswa itu mengutarakan keinginan untuk mengunjungi tempat peristirahatan tokoh pendiri bangsa tersebut. “Ya, Bu, aku mau ke sana. Aku mau, mau ziarah ke sana. Aku mau benar-benar mengucapkan terima kasih kepada Insinyur Soekarno. Aku nggak mau cuma lewat fotonya saja, Bu. Aku mau langsung ke makamnya Insinyur Soekarno,” kutip Ibu Riva dari siswanya.
Dalam aksi berikutnya, Ibu Riva mengenalkan Indonesia melalui permainan berkelompok. Beliau memberikan ruang kepada siswanya untuk berkreasi membuat permainan bersama teman mereka sebebas-bebasnya. Usai merancang permainan, siswa dipersilakan mendemonstrasikan desain tersebut di depan kelas. “Jadi yang praktekin kelompok lain. Yang mendesain game itu, dia langsung memaparkan sekaligus memandu kelompok lain untuk mempraktikkan,” terang Ibu Riva. Salah satu kelompok mendesain permainan tebak nama pahlawan dengan dua peran: tugas menebak dan memberikan petunjuk tentang siapa pahlawan tersebut. Terdapat pula kelompok lain yang menyusun permainan menebak pernyataan benar atau salah. Selain menambah khazanah pengetahuan tentang bangsa Indonesia, Ibu Riva juga berharap siswa dapat belajar berkolaborasi, berkomunikasi, menghargai pendapat orang lain, dan berlatih untuk lebih berani.
Upaya menarasikan Indonesia juga direalisasikan dengan memanfaatkan media lagu. Ibu Riva mengajak siswanya menyanyikan lagu-lagu wajib nasional, juga lagu-lagu anak populer yang liriknya dimodifikasi menjadi berisikan pengetahuan umum tentang Indonesia. Salah satu lagu yang beliau gunakan adalah “Kalau Kau Suka Hati”. Ibu Riva mengganti liriknya dengan nama-nama suku bangsa di Indonesia. “Soalnya biasanya kan anak-anak kalau pakai lagu itu mereka akan gampang gampang inget,” ungkapnya. Dengan menyanyikan modifikasi lagu ini, beliau ingin para siswa mengetahui bahwa masyarakat Indonesia sangat beragam, terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan semuanya adalah saudara mereka.
Tentu bukan suatu hal yang mudah untuk menggerakkan aksi-aksi tersebut. Kegamangan sempat Ibu Riva rasakan lantaran dirinya merasa sudah terlalu jauh dari rasa memiliki bangsanya. Perasaan bersalah yang beliau rasakan sempat menahan keberaniannya untuk menarasikan Indonesia. Namun, Ibu Riva berhasil menjadikan rasa bersalahnya sebagai batu pijakan untuk memulai geraknya dalam menarasikan Indonesia. Aksinya diiringi dengan upaya mencari sumber wawasan Indonesia dari buku, pakar sejarah, dan seorang veteran. Sementara Ibu Riva terus belajar dan mengembangkan diri, tantangan lain datang dari respon anak-anak yang tidak sesuai dengan harapannya. “Dan memang itu kalau disebut kendala, itu akan membuat kita jadi patah semangat ya. Jadi buat saya itu tantangan, bagaimana saya bisa melunakan hatinya, bagaimana saya bisa membuka pikirannya untuk mau menerima apa yang saya ceritakan.”
Namun demikian, dengan nyala semangatnya dalam menarasikan Indonesia, Ibu Riva dapat memetik hasil dari upaya yang telah dijalankannya. Menurut pengamatannya, siswa mengalami perubahan dari sisi karakter dan sikap. Tidak ada lagi teriakan dan luapan kemarahan di dalam kelas. Siswa pun mulai memperlihatkan rasa menghargai akan apa yang orang lain lakukan dan apa yang temannya berikan. Perubahan juga terlihat pada kegiatan upacara bendera. Mereka yang semula selalu ramai di barisannya kini menjadi lebih khidmat, menyimak setiap rangkaian upacara. Terlebih ketika penghormatan sang saka merah putih, mereka tak lagi melakukannya secara asal. Dalam menyanyikan lagu wajib nasional pun mereka menjadi lebih bersemangat. Perubahan lain teramati dari bagaimana mereka memiliki rasa keingintahuan akan cerita masa lalu bangsa Indonesia dengan permintaan tiada usai akan kisah-kisah lainnya. Siswa mengungkapkan bahwa mereka merasakan kesenangan dan keasyikan dalam menjalani kegiatan di kelas. Bagi Ibu Riva, hal yang paling membekas di hatinya adalah ketika seorang siswa mengungkapkan cita-citanya untuk menjadi polwan karena ingin menjaga Indonesia dan mengembalikan kebesaran Indonesia. “Ternyata kalau kita menyampaikannya benar-benar dari hati, itu akan masuk ke hati mereka juga gitu. Dan mereka akan ngerasain juga apa yang kita sampaikan,” ungkap Ibu Riva, “Tanpa kita harus teriak-teriak. Tanpa kita harus paksa-paksa. Cukup ceritakan dengan penuh keyakinan. Dan juga sampaikan dengan bawa hati kita. Itu akan kena ke hati mereka.”
Perjuangan Ibu Riva tidak sampai di sini saja. Beliau mengaku telah menceritakan praktik-praktik yang telah dilakukan kepada teman guru di sekolah dan komunitasnya, termasuk komunitas guru GSM di Banjarnegara. Tak lupa beliau bagikan praktik-praktik tersebut di media sosialnya, utamanya untuk mendapatkan umpan balik dari rekan guru lainnya. Sementara itu, di kelas, Ibu Riva terus mengupayakan inovasi-inovasi lain. Satu hal yang telah terencana adalah mengajak siswa berkunjung ke situs-situs bersejarah yang berada di Banjarnegara. Hal ini disambut dengan baik oleh siswa dan orang tuanya. Namun, beliau juga memberikan tantangan kepada siswa untuk tidak meminta uang saku kepada orang tua. Mereka harus menyisihkan uang saku hariannya sebagai modal untuk kegiatan ini.
Tak lupa, Ibu Riva berpesan kepada para pendidik anak bangsa untuk tidak malu mengakui kesalahan. Semua kekhilafan yang ada sebaiknya menjadi renungan untuk memperbaiki diri sebelum akhirnya dapat memupuk keberanian untuk menarasikan Indonesia di ruang kelas. “Diawali dengan niat menyadarkan diri dulu. Karena kalau kita sudah sadar, itu akan semakin memudahkan kita untuk menarasikan kembali Indonesia di masa lalu,” imbuh Ibu Riva.
Demikianlah sepatutnya narasi kebesaran bangsa perlu menjadi aksi yang kontinu, utamanya di era derasnya arus informasi global yang menawarkan berbagai kilau budaya mancanegara. Untuk itu, siswa perlu dibekali pengenalan akan bangsanya sendiri supaya mereka dapat terus memegang teguh identitas mereka dan memiliki acuan karakter yang luhur meskipun harus terus mengikuti arus kemajuan zaman. Namun, sebelumnya, aksi ini semestinya dibarengi dengan kesadaran dan kesungguhan hati dari diri para pendidik sebelum dipraktikkan di dalam kelas. Dengan bekal kesadaran dan ketulusan, harapannya narasi yang disampaikan dapat tersimpan dengan baik tidak hanya dalam memori, tetapi juga dalam sanubari.
Penulis: Talitha Vania Sasikirana
0 Comments