GSM

Dunia digital dan revolusi industri 4.0 telah memicu roda perputaran era disrupsi yang kian kompleks dari waktu ke waktu. Perkembangan teknologi bergerak begitu cepat dan terus menerus, begitu pula persebaran ilmu pengetahuan. Tak berhenti sampai di situ, dampak yang timbul pun sulit dikendalikan, menciptakan berbagai paradoks serta masa depan yang tidak bisa diprediksi.

Dampak tersebut layaknya pedang bermata dua, bisa berguna, tetapi juga berbahaya. Contohnya adalah era ini yang melahirkan banyak lapangan pekerjaan baru, namun ia turut membuat banyak mata pencaharian menjadi usang. Belum lagi kemunculan teknologi media sosial yang bisa jadi penolong di tangan yang tepat (aksi massa, pengumpulan dana untuk membantu korban bencana), tetapi ada pula yang menggunakannya untuk bullying hingga menjadi penyebab perpecahan.

Di Indonesia, ketidaksiapan sistem menghadapi era disrupsi justru menimbulkan krisis. Tidak semua orang bisa beradaptasi dengan perkembangan yang supercepat di negara ini dan banyak yang kebingungan di tengah paradoks Revolusi Industri 4.0. Pendidikan sebagai salah satu sistem dasar yang dibutuhkan manusia seharusnya bisa menyiapkan insan cendekia untuk melampaui era ini, yakni dengan menegakkan identitas.

Identitas Pendidikan

Identitas merupakan sebuah konsep yang mudah untuk dicapai, tetapi ia dibutuhkan untuk bertahan di tengah terpaan ketidakpastian. Belakangan ini, sering kita saksikan di media sosial bagaimana anak muda hidup dengan kiblat budaya lain. Para penggemar K-Pop cenderung ke-Korea-an para penggemar manga cenderung ke-Jepang-an, dan tak sedikit pula yang ke-Arab-an.

Situasi ini sangat ironis, mengingat Indonesia memiliki identitas bangsa yang sebenarnya tidak dimiliki negara lain: keragaman. Ada begitu banyak suku dan budaya di Nusantara, begitu pula dengan bahasa dan pengetahuan daerah. Begitu banyaknya konten di media digital membuat publik kesulitan memilah, bahkan lupa akan jati dirinya sendiri.

Untuk menghindari amnesia ini, lembaga pendidikan harus memfasilitasi murid-muridnya untuk membentuk identitas dimulai dari diri sendiri. Ekosistem lembaga pendidikan harus suportif dan memiliki atmosfer berbagi. Penciptaan suasana ini nantinya mampu membuat anak untuk belajar berkolaborasi di tengah keragaman. Anak-anak tidak lagi diukur berdasarkan standard, tetapi dihargai berdasarkan keunikannya masing-masing.

Sebagai tempat untuk menuntut ilmu, sekolah maupun perguruan tinggi juga tidak boleh sekadar mementingkan kognisi. Ada kompetensi berbeda yang harus dibangun untuk mengoptimalkan pertumbuhan, mulai dari rasa ingin tahu, kreativitas, empati, hingga determinasi. Bukan sekadar kecerdasan otak, tetapi juga nalar dan rasa.

Manusia perlu mengetahui identitasnya sebagai pribadi (aspek psikologis), menyadari posisinya di tengah masyarakat, kemudian menakar sendiri kapasitas diri untuk memberikan dampak. Dengan kesadaran identitas pribadi dan sosial, ia tidak akan mudah digoyang oleh perubahan, bahkan menungganggi arus liar itu layaknya berselancar.

Perguruan Tinggi Butuh Transformasi

Sebagai salah satu lembaga pendidikan, perguruan tinggi pun butuh transformasi untuk mendukung mahasiswanya dalam pembentukan identitas di era disrupsi. Itu berarti kampus-kampus tidak melulu menjadi tempat kursus yang sekadar menghasilkan tenaga kerja terampil, melainkan harus ambil bagian dalam pembangunan civilized society guna mengatasi paradoks yang berpotensi terjadi.

Langkah radikal pun sepatutnya diambil dalam konteks ini, seperti yang dilakukan dalam Gerakan Sekolah Menyenangkan. Butuh transformasi di semua level di lembaga pendidikan untuk menciptakan ekosistem suportif di ranah pendidikan yang memanusiakan. Perubahan ini harus mencakup setiap lapisan mulai dari siswa, dosen, kurikulum, dan struktur kampus itu sendiri.

Pertama, dari aspek mahasiswa, sebagai pembelajar mereka harus memiliki pengalaman belajar yang terkhususkan – sesuai dengan kebutuhan dan bukan dikontrol penuh oleh dosen. Harus ada ekosistem yang memungkinkan adanya support dan feedback. Secara keseluruhan, pembelajaran bukan sekadar mengajar, tetapi menginspirasi dan memancing inovasi.

Kedua, dosen tidak boleh terpaku pada materi yang sama dari tahun ke tahun. Sebagai pendidik, mereka tak seharusnya memaksakan ilmunya, tetapi menyesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa. Gaya mengajar yang kuno pun harus disingkirkan dan dosen perlu jadi pemimpin guna menginspirasi siswanya untuk menghadapi masa depan yang penuh tantangan.

Ketiga, kurikulum pendidikan satu arah dan cenderung teknis perlu dievaluasi pula, ditranformasi menjadi kurikulum yang Problem Based Learning dan Student Centered Learning. Mata kuliah yang berjibun juga perlu dipangkas, guna memberikan kebebasan mahasiswanya untuk bereksplorasi.

Keempat, struktur kampus juga perlu direvolusi untuk mendukung kreativitas dan pembelajaran mandiri. Ini berarti kampus tidak berhenti pada lokasi nyata, tetapi juga beralih pada arena virtual. Siswa bisa bereksplorasi semakin bebas jika dialog pengetahuan tidak hanya diadakan di ruang kelas, tetapi di setiap saat, lewat layar smartphone atau personal computer.

Pembelajaran di perguruan tinggi, seperti model sekolah GSM, tidak boleh berhenti pada kognisi. Ia wajib menstimulasi pembelajar untuk melakukan eksplorasi. Tidak ada standardisasi ataupun pengajaran yang terlampau teknis. Niscaya, pembelajar bakal membangun identitasnya sendiri dan mengambil posisi atas permasalahan-permasalahan kompleks yang ada di sekelilingnya.

Muhammad Nur Rizal, Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan

Categories: Inspirasi GSM

0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.