Warga dunia sedang menghadapi transformasi pendidikan Abad 21, dimana pendidikan tidak lagi dapat diterapkan dengan pendekatan-pendekatan lama, melainkan dengan cara dan metode yang lebih baru dan sesuai dengan karakteristik generasi di abad 21. Menurut Kemendikbud, karakteristik dari abad 21 adalah informasi yang mudah dijangkau, adanya implementasi penggunaan mesin (komputasi), meningkatnya otomatisasi dan komunikasi yang lebih mudah dilakukan. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, telah terjadi pergeseran pembangunan pendidikan ke arah ICT (Information and Communication Technology).
Pendidikan, sebagai sektor utama dan pertama dalam mempersiapkan generasi yang siap menghadapi abad 21 ini, menjadi sorotan dalam menghadapi perkembangan zaman ini. Pendidikan menjadi lebih tepat sasaran apabila mampu menjawab tantangan-tantangan di abad 21 ini. Namun, apabila berkaca pada pendidikan Indonesia saat ini, apakah pendidikan Indonesia sudah berada di jalur yang benar? Kali ini, pertanyaan ini dikupas tuntas dalam wawancara bersama bu Frida Tesalonik, seorang guru SMPN 7 Tangerang Selatan, yang juga merupakan guru penggerak dari Gerakan Sekolah Menyenangkan.
Apa menurut ibu yang bermasalah dari pendidikan Indonesia?
Sebenarnya bukan salah, tetapi proses pembelajaran yang tidak tepat karena yang dikedepankan adalah akademik. Selama ini, yang kami tahu adalah proses pembelajaran yang dikejar oleh tujuan pemerintah, aturan yang ada di dalam kurikulum, serta target kurikulum yang harus tercapai. Jadi, selalu di titik beratkan kepada nilai akademik serta nama baik lembaga. Tanpa disadari, proses ini membuat anak seperti robot. Kami tidak pernah diberi kesempatan yang banyak untuk memanusiakan si anak.
Mengapa ibu menganggap tidak memanusiakan anak adalah sebuah masalah?
Masalahnya terletak pada kami tidak melihat harkat dan martabat si anak. Sedangkan, ketika kami belajar di GSM, kami diajarkan bahwa anak ini juga manusia, makhluk hidup yang memang harus dihargai dan kami anggap. Terutama dalam hal karakter. Selama ini kan kami ngajar langsung ngajar aja, toh? Tidak pernah melihat anak itu ada masalah apa nggak di rumah? Apakah anak sedang sakit?
Ketika tidak menganggap harkat dan martabat anak, dampaknya sebesar apa, bu?
Banyak, atuh. Pada saat dia terbentuk dewasa, mereka tidak memiliki empati sosial yang tinggi, jadi kami merasa kehilangan budi pekerti dari mereka. Saya menangkap penyampaian oleh Pak Rizal, hasil riset bahwa, anak-anak yang sekarang menjadi seorang pencuri, pembunuh dikarenakan anak-anak tidak pernah disentuh sisinya sebagai manusia. Ini merupakan andil kita. Apalagi banyak anak berasal dari kalangan orang tua yang tidak memperhatikan seperti itu. Menurut orang tua, akademik anak harus bagus tanpa melihat psikologi si anak.
Apa sebenarnya harapan ibu terhadap pendidikan Indonesia di masa depan?
Paling tidak pendidikan mengedepankan nilai memanusiakan manusia. Tapi syukurlah dengan adanya merdeka belajar yang isinya berupa evaluasi yang bukan hanya untuk kepentingan capaian kurikulum tetapi untuk melihat mutu dari pendidikan itu sendiri, dan ada komponen nilai karakter yang juga dinilai dalam evaluasi. Hanya saja, masalahnya, pada saat pemerintah menghulukan kebijakan tersebut, apakah guru-guru sudah memahami apa-apa yang sudah dicanangkan oleh pemerintah terutama dalam hal karakter? Jangan-jangan nanti guru-guru belum memahami karakter yang dimaksudkan oleh pemerintah.
Sebetulnya GSM itu bisa memberikan tambahan ilmu dan wawasan kepada guru-guru yang memang mau, sedikit demi sedikit berubah. Sebelum melakukan penilaian pada anak, si guru harus kita benahi dulu, dong. Bagaimana kita bisa memberikan penilaian kepada anak kalau guru belum terbenahi.
Tapi, apakah ibu yakin GSM ini bisa memulai perubahan itu?
Saya sangat yakin karena apa? Adanya materi di dalam GSM yang banya mengubah mindset guru dan anak, tentang sekolah yang memanusiakan manusia. Selama ini saya tidak memanusiakan manusia. Selama ini saya anggap anak adalah objek untuk pencapaian kurikulum untuk saya. Namun, GSM memberikan kami kesempatan untuk membuka diri dan berubah. Pertama, berawal dari berubah. GSM tidak menuntut perubahan yang banyak, sedikit saaja perubahan sudah sangat bagus. Setelah berubah kita berbagi dengan hati, lalu kolaborasi. Selama ini kita masing-masing aja jalan sendiri. Di sini kita berkolaborasi, jika ada sekolah yang sudah berubah, sekolah-sekolah yang lain juga dipersilahkan untuk melihat, mencontek, memodifikasi supaya mereka lebih berinovasi.
Menurut ibu, apa yang membuat akhirnya sekolah ibu menjadi bisa berubah?
Karena ada keinginan dari si guru selain saya, kepala sekolah yang memang mau berubah mindsetnya. Kalau mereka tidak mau berubah tidak mungkin juga kan berubah. Tetapi kalau bapak ibu tidak mau berubah maka jangan kaget apabila posisi mereka beberapa tahun ke depan akan tergantikan dengan gadget yang luar biasa. Anak-anak akan lebih suka dengan gadget karena pembelajaran yang mudah dilihat melalui youtube. Tetapi, untuk mengubah karakter budi pekerti, tidak dapat digantikan dengan alat. Jadi, perubahan mindset guru menjadi hal penting untuk berubah.
0 Comments