Dibalik kesiapan peserta didik sebelum mengikuti pembelajaran di dalam kelas, terdapat pula berbagai perasaan atau emosi yang ia sembunyikan. Menahan rasa bosan, jenuh, lelah, sedih atau bahkan enggan mengekspresikan rasa senang dari kabar gembira yang dibawakan oleh temannya karena pengajar yang tiba – tiba datang. Tampaknya, persoalan tersebut menjadi hal umum namun jarang dibicarakan. Kalau mengekspresikan hal baik seperti rasa senang saja enggan, bagaimana dapat menjadi versi terbaik untuk dirinya sendiri?
Menyadari potensi dan menjadi versi terbaik dalam diri sendiri memang bukanlah hal instan yang dapat dengan mudah tercapai. Tentunya, dibutuhkan ekosistem yang mendukung dengan arah pembelajaran yang sesuai. Orientasi pembelajaran peserta didik bukan hanya pada pencapaian akademik saja namun juga harus melibatkan well being dari peserta didik. Berbicara mengenai student well being, bu Novi selaku Co-Founder GSM membagikan insight mengenai hal tersebut yang juga diterapkan dalam praktik sekolah GSM.
Beliau mengartikan student well being sebagai kondisi yang mendukung peserta didik dalam berkembang secara utuh dari sisi fisik, emosi, kognitif, sampai dengan psikomotorik untuk membentuk dirinya sebagai manusia yang bahagia dan produktif. Namun, beliau juga mengatakan bahwa istilah student well being masih jarang digunakan di Indonesia. Hal ini lebih sering dikenal dengan istilah ‘manusia seutuhnya’. Namun, hal tersebut juga belum terbiasa menjadi sebuah tujuan pendidikan di Indonesia yang ada saat ini.
Sehingga, seolah – olah masyarakat Indonesia melihat pendidikan hanya untuk membuat peserta didik mahir secara akademik saja. Padahal, kebahagiaan serta produktivitas anak dalam perkembangan secara utuhnya juga sangat diperlukan. Oleh karena itu, salah satu kampanye dari Gerakan Sekolah Menyenangkan adalah perbaikan kualitas dengan mengubah orientasi pendidikan melalui penalaran serta kesadaran diri. Hal tersebut sangat erat kaitannya dalam membangun student well being pada pendidikan yang ada saat ini.
Bu Novi menjelaskan bahwa “Yang tadinya orientasinya adalah standarisasi dan academic achievement, nah sekarang kita ke well being. Namun, karena well being belum menjadi term yang bisa dimaknai oleh seluruh masyarakat Indonesia. Akhirnya, kita ubah sistemnya menjadi penalaran dan kesadaran diri. Jadi, pendidikan yang berbasis penalaran dan kesadaran diri” Beliau menjelaskan bahwa well being akan terbentuk ketika anak – anak dapat melakukan penalaran dan sadar akan dirinya untuk mencapai ‘manusia seutuhnya’.
Dengan penalaran, ia dapat menentukan berbagai pilihan baik untuk kehidupannya, seperti ‘mengerti dan tahu alasan bahwa dirinya harus sehat’ ‘perlu bersikap sopan terhadap orang lain’ atau ‘perlu berempati terhadap orang lain’. Hal ini bukan hanya mengaktifkan penalaran, namun juga melibatkan kesadaran akan dirinya. Terlebih, anak – anak yang terlahir di era digital saat ini hidup berdampingan dengan artificial intelligence yang mampu menguasai kehidupan sehari – hari umat manusia. Artinya, tanpa adanya kesadaran diri, teknologi akan lebih menguasai diri sendiri.
Melalui teknologi, anak – anak dapat menggunakan dan melakukan apapun. Akan tetapi, tidak jarang mereka juga tidak sadar atas apa yang mereka lakukan. Seperti kebingungan akan kesibukan yang mereka jalani. Misalnya, mereka sibuk dalam belajar. Namun, mereka tidak sadar terhadap alasan sebenarnya dari tujuan mereka belajar. Atau saat mereka tidak sadar sudah menghabiskan banyak waktu menggunakan media sosial. Kesadaran penuh akan hal – hal kecil tersebut lah yang perlu lebih diperhatikan terutama dalam orientasi pendidikan.
Pengaruh sistem pendidikan saat ini tentunya berdampak pada well being peserta didik. Bu Novi mengutarakan bahwa baru saja melakukan penelitian yang berkaitan dengan well being peserta didik selama pembelajaran jarak jauh “Kemarin kan kita baru saja melakukan penelitian waktu PJJ ya. Ternyata, ketika kita meneliti itu ditemukan bahwa sekitar 70% anak – anak Indonesia baik dari SD maupun SMA/SMK itu emosi negatif nya lebih besar daripada emosi positifnya. 30% baru emosi positif” Seperti itu hasil penelitian yang dituturkan olehnya.
Beliau juga menjelaskan mengenai emosi negatif yang ditemukan melalui penelitiannya. Ia mengatakan bahwa emosi negatif seperti bosan, malas, tidak punya motivasi seperti merasa frustasi, bahkan merasa tidak punya harapan seperti hanya melakukan rutinitas dari kesehariannya, dialami oleh banyak siswa – siswi di Indonesia. Beliau juga menyayangkan bahwa berbagai masalah emosi dan sosial tidak dilihat sebagai dampak dari sistem pendidikan yang ada saat ini.
Bu Novi mengatakan “Jadi, kalau kita berbicara mengenai pendidikan itu biasanya tentang akademik dan scoring. Itu ya tentang achievement akademik. Tetapi, problem emosi, problem sosial itu tidak dipandang sebagai sebuah permasalahan atau sesuatu hal yang harus dicapai. Bahkan kan itu tidak masuk dalam kurikulum kan, Social Emotional Learning itu gak masuk dalam kurikulum. Kenapa? karena paradigma pendidikan di Indonesia itu masih menganut paradigma standarisasi” Seperti itu penjelasan yang diberikan.
Beliau mengatakan bahwa standarisasi tersebut merupakan hasil dari revolusi industri 2.0 saat terciptanya mesin uap dengan berbagai pabrik yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Oleh karena itu, pendidikan digunakan untuk menghasilkan tenaga – tenaga kerja yang terstandar. Sedangkan, saat ini sudah revolusi industri 4.0 dengan teknologi artificial intelligence yang mendominasi. Sehingga, yang dibutuhkan adalah orang – orang kreatif yang mampu menciptakan berbagai ide. Maka dari itu, standarisasi sudah tidak relevan saat ini.
Bu Novi juga menjelaskan bahwa arah pendidikan di berbagai negara maju saat ini sudah bukan untuk pencapaian akademik melainkan well being yang bagus. Dengan well being yang baik, kesehatan mentalnya juga akan baik. Sehingga, hal tersebut juga berdampak pada produktivitas yang tinggi dengan kebahagiaan dan kemampuan resilience yang baik. Maka dari itu, sangat berpengaruh apabila pendidikan yang ada masih terstandarisasi. Seharusnya, kita yang dapat mengendalikan robot – robot, namun malah diri kita sendiri yang seperti robot.
Dalam meningkatkan student well being, GSM sudah memulai dan bergerak sejak awal melalui pendekatan baru, yaitu Whole School Approach atau perubahan ekosistem sekolah secara menyeluruh. Dengan perubahan kepemimpinan feodal menjadi merdeka dan inovatif, mengubah lingkungan sekolah menjadi lebih positif dan terkoneksi dengan masyarakat serta keluarga, perubahan orientasi materi pembelajaran ke penalaran dan kesadaran diri melalui Social Emotional Learning. Hal ini sebagai strategi perubahan di keseluruhan sekolah GSM.
Empat strategi perubahan tersebut sangat berdampak baik terhadap para guru, peserta didik, dan orang tua. Bu Novi menuturkan bahwa “Anak – anak lebih termotivasi belajar, karakternya juga jadi lebih baik, orang tuanya jadi lebih respect terhadap anak – anaknya, gurunya juga lebih respect terhadap siswa – siswinya” Seperti itu menurutnya. Perubahan yang dilakukan tersebut juga memungkinkan membangun konektivitas terhadap keterampilan lainnya dalam penggalian potensi peserta didik.
Selain itu, bu Novi juga memberikan saran praktik baik untuk guru – guru dalam meningkatkan well being dari siswa – siswinya. Beliau menyarankan pembentukan lingkungan interaktif seperti yang dilakukan GSM melalui metode Social Emotional Learning. Sehingga, kegiatan belajar – mengajar yang terjadi tidak bersifat tunggal. Bu Novi mengibaratkan lingkungan sekolah yang interaktif seperti pada café yang dapat mendukung suasana kerja menjadi interaktif dan juga kolaboratif.
Penerapan tersebut dapat dilakukan melalui perubahan layout kelas yang menarik. Selain itu, diperlukan juga banyak aktivitas dengan engagement. Sehingga, lebih tercipta keterkaitan komunikasi dua arah yang lebih interaktif antara peserta didik dengan para guru. Misalnya, dengan mengadakan permainan sederhana sebelum pembelajaran dimulai dan ditengah pembelajaran. Permainan sederhana tersebut yang berkaitan dengan pengembangan emosi para peserta didik. Selain itu, diperlukan juga pemberian penghargaan pada setiap peserta didik dengan keunikannya masing – masing.
Setelah itu, mengubah pembelajaran yang hanya dengan lecturing atau metode ceramah dengan beragam ujian menjadi pembelajaran berbasis project yang lebih inovatif dan kolaboratif. Kemudian, disertai juga dengan refleksi dan pemaknaan melalui pertanyaan seperti manfaat yang didapatkan dan perasaannya setelah melakukan kegiatan tersebut. Sehingga, anak lebih memaknai aktivitas yang telah mereka lakukan. Seperti halnya menjadi ‘manusia seutuhnya’ yang mampu mengenali emosi di dalam dirinya dan sadar akan hal yang ia lakukan.
Selain saran praktik baik bagi para guru, bu Novi juga memberikan saran bagi siswa – siswi di Indonesia dalam menggali potensi serta menjadi versi terbaik dari dirinya. Ia mengatakan “Belajar lah apa yang ingin kamu pelajari. Belajar lah dengan memulai pertanyaan dari apa yang ingin kamu ketahui– belajar lah apa saja dari rasa ingin tahumu” Beliau juga menambahkan “tujuan utama belajar adalah menjawab rasa ingin tahu, sehingga untuk menemukan passion, untuk menemukan dirimu, untuk menemukan versi terbaik dirimu itu ya dengan belajar melalui apa yang ingin kamu pelajari”
Penulis: Dwidia Jezy
Editor: Hayinah Ipmawati
0 Comments