GSM

Ya, judul di atas merupakan topik yang menarik untuk dibahas dan diperbincangkan secara mendalam. Terlebih, di era saat ini di mana percepatan informasi dan teknologi semakin tidak terkendalikan, membawa kita kepada perubahan, mau tidak mau, siap tidak siap, suka tidak suka, menuntut kita untuk dapat mengikuti setiap perkembangan yang terjadi. Karenanya di era yang serba cepat dan tidak pasti ini, yang dibutuhkan adalah manusia-manusia yang adaptif terhadap perubahan. Mereka yang selalu mau untuk belajar dan berubah mengikuti zaman. Mereka yang tidak diam, mereka yang terus bergerak.

Maka, jika dikaitkan perubahan teknologi dan informasi yang terus berkembang saat ini dengan pendidikan, tentu jelas sangat bersinggungan. Pendidikan tetap harus berjalan mengikuti zaman yang ada, mengikuti era yang berlaku saat ini. Terbukti, pandemi Covid-19 yang tidak kita prediksi sebelumnya, tiba-tiba hadir dan merubah sistem pendidikan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kedatangan wabah ini, jelas merubah proses digitalisasi jauh lebih cepat dari perkiraan para ahli terdahulu. Pembelajaran dilakukan secara jarak jauh yang biasa disebut dengan belajar dalam jaringan. Guru dan siswa beradaptasi merubah pola dan sistem pembelajarannya menjadi menggunakan teknologi. Namun, apakah dengan perubahan ‘cara belajar’ saja sudah menjamin pendidikan kita menjadi berkualitas? Atau dengan perubahan yang seakan dipaksa ini menjadikan para pelaku pendidikan belum siap sehingga terjadi learning loss dalam proses pembelajaran siswa?

Berbicara mengenai learning loss atau hilangnya capaian belajar siswa ini terjadi bukan karena faktor dari dampak pandemi saja, namun sejatinya permasalahan pendidikan di Indonesia memang kompleks. Jauh sebelum pandemi ada, Indonesia sudah memiliki segudang faktor dan kendala yang menimbulkan pada penurunan capaian belajar siswa. Mulai dari rendahnya kompetensi profesional guru hingga pada sistem pembelajaran yang tidak memberikan ruang eksplorasi untuk siswa menjadi active learning.

Seorang dosen di Harvard bernama Lant Pritchett, berdasarkan risetnya menjelaskan bahwa kualitas para lulusan Perguruan Tinggi (PT) yang tinggal di Jakarta ternyata tingkat kemampuan literasinya selevel belaka dengan para drop-outan SMA di negara-negara OECD, bahkan kemampuan literasi drop-outan SMA di Jepang lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan literasi para lulusan PT di Jakarta. Artinya apa? Artinya pendidikan kita sangat jauh tertinggal. Pasti diantara kita bertanya-tanya atau bahkan saling menuding siapa yang salah dan harus bertanggungjawab atas ketertinggalan ini. Apakah tenaga pendidiknya? Apakah minat belajar dari siswanya? Apakah pola asuh orangtua? Atau bahkan kebijakan kurikulum yang berlaku?

Sejatinya, keberhasilan suatu pendidikan tentu tidak terlepas dari peran-peran para pelaku pendidikan. Semua memiliki andil dan kepentingan yang turut ikut didalamnya. Lantas, langkah pertama untuk merubah pendidikan apakah harus dengan ganti kurikulum? Menurut Pak Rizal (Founder GSM), jika dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka untuk menyikapi era yang serba tidak pasti ini adalah dengan perubahan mindset dari para pemangku pendidikan (stakeholder sekolah) bukan kurikulum dan kebijakannya. Kurikulum dan kebijakan memang akan mempercepat proses perubahan, tetapi yang paling utama adalah perubahan mindset, mental, dan cara berpikir karena itu sebagai kunci dasar yang akan membawa dampak jangka panjang ke depan dan berkelanjutan sehingga perubahan-perubahan akan bisa kita hadapi bersama.

Salam, Berubah, Berbagi, Berkolaborasi!

Penulis: Nazula Nur Azizah

Editor: Nida Khairunnisaa


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.