Belakangan muncul wacana mengimpor guru dari luar negeri untuk mengajar ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia. Hal itu diucapkan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani. Gagasan ini mendapatkan reaksi keras dari berbagai pihak yang bergerak di bidang pendidikan.
“Kita ajak guru dari luar negeri untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia,” kata Puan saat menghadiri diskusi Musrenbangnas, Jakarta, Kamis (9/5) seperti dilansir Antara. Tambahnya, guru-guru yang terkendala bahasa akan difasilitasi kelengkapan alih bahasa. Ia juga meminta pihak-pihak berkepentingan untuk menyampaikan kriteria dan jumlah pengajar yang dibutuhkan.
Lontaran ini jelas mendapatkan banyak kritik mengingat persoalan pendidikan kita tak pernah selesai. Terlebih, Puan juga tidak menyampaikan alasan konkret dibutuhkannya pengajar dari luar negeri ini. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, seperti dilansir dari Tirto, mengatakan jika harus dijelaskan dahulu landasan pemikirannya, sehingga tidak menciptakan kegaduhakn yang justru kontraproduktif.
Hal senada juga disampaikan Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), Muhammad Ramli Rahim, yang menilai wacana ini seolah-olah merupakan sikap “angkat tangan” Menteri terhadap perkembangan pendidikan Indonesia. Pasalnya, lulusan pendidikan guru mencapai 300.000 guru per tahun—dibandingkan dengan kebutuhan guru yang hanya 40.000 per tahun. Surplus ini seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah karena berhubungan dengan lapangan pekerjaan, bukan malah mengancam dengan guru-guru impor.
Permasalahan klasik seperti kesejahteraan guru dan tenaga honorer yang puluhan tahun mengabdi bagi pendidikan Indonesia juga urung rampung. Jika wacana impor guru terrealisasi, anggaran akan semakin membengkak, namun kontraproduktif dengan hasil yang diterima guru-guru ini. Padahal, pemerintah juga membentuk lembaga-lembaga pelatihan guru yang ratusan jumlahnya. Menurut data Kemenristekdikti tahun 2013, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang merupakan pabrik guru ini berjumlah 429 lembaga—baik negeri maupun swasta. Ditambah 14 P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan) milik Kemdikbud, termasuk LP2KS (Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah) dan 34 LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) yang merupakan mantan Balai Pelatihan Guru (BPG). Anggaran pemerintah yang disuntikkan pada ratusan lembaga ini tidaklah kecil. Jika memang lembaga-lembaga ini dianggap tak menghasilkan tenaga yang mumpuni, alangkah baiknya jika memotong jumlah lembaga-lembaga ini dan mengalihkan anggaran pada sektor kesejahteraan guru.
Atau anggaplah, guru-guru Indonesia bermasalah sehingga seorang menteri merasa layak menggantikannya dengan guru impor. Ini cacat logika. Kita harus menilik bahwa pangkal dari permasalahan justru datang dari pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan.
Sementara itu, pernyataan Puan untuk mendatangkan guru impor sesuai kebutuhan menyiratkan industrialisasi dalam ekonomi Indonesia ke depan. Dalam hal ini, pendidikan dimaknai sebagai pencetak tenaga dan sekrup industri untuk memenuhi tantangan itu. Di sinilah letak salah kaprah seorang menteri ketika memaknai pendidikan sebagai pencetak tenaga ahli dalam bidang tertentu. Ia lupa bahwa sejatinya pendidikan seharusnya membuat orang merdeka dan mengembangkan potensi yang dimiliki—tidak melulu tentang kebutuhan siap pakai!
Satu hal lain yang tak bisa lepas dari wacana impor guru adalah pemahaman bahwa semua yang dari luar, dari Barat, selalu lebih unggul mutunya. Pemahaman ini menunjukkan betapa dekadennya mental bangsa ini. Bahwa kita lebih inferior, lebih tak berdaya dibandingkan Barat. Di waktu yang lampau, bapak-ibu pendiri bangsa mengajarkan caranya bahwa kita sejajar dengan bangsa mana pun di muka bumi. Namun mengapa kepercayaan diri itu luntur di zaman modern ini?
Di satu titik, kita pantas mengaku bahwa pendidikan di negara-negara utara khatulistiwa sana memang lebih memanusiakan peserta didik. Namun, tidak bisakah kita mengadaptasinya sesuai dengan kultur Indonesia dan bukan malah menggantinya? Upaya adaptasi ini akan menghasilkan pola kerja kolaboratif yang berpotensi meningkatkan wawasan global.
Terakhir. Menyitir komentar dari seorang kawan (yang pantas juga pada Puan dan pemangku kebijakan pendidikan); Pendidikan macam apa yang diharapkan dari orang yang tak punya imajinasi kolektif karena tidak tumbuh dari masyarakat yang sama (dalam hal ini guru impor)?
[Yesa Utomo]
0 Comments