Neoliberalisme pada dasarnya adalah paham ekonomi yang menyerukan agar negara mengurangi campur tangannya dalam aktivitas ekonomi masyarakat secara signifikan. Bagi kaum neoliberalis, aktivitas ekonomi sebaiknya ditentukan oleh mekanisme pasar karena pasar mengajarkan orang untuk berpikir rasional dengan menggunakan kalkulasi untung-rugi. Bagi mereka yang tidak mampu bersaing secara bebas, maka harus merelakan diri untuk digusur dari ajang kompetisi (Hadiwinata, B. S, 2006:475). Namun, praktik neoliberalisme juga terlihat dalam dunia pendidikan, seperti lebih mengutamakan pendidikan yang dibutuhkan pada kebutuhan industri sehingga tak jarang kita melihat SMK dan program studi universitas yang berfokus akan praktik-praktik neoliberalisme.
Praktik pendidikan neoliberalisme cenderung memperhatikan pengetahuan-pengetahuan untuk bisa menjadi pekerja yang dibutuhkan oleh industri tanpa memperhatikan minat dan potensi murid untuk mengembangkannya. Murid-murid sadar akan minatnya, tetapi kebutuhan dan keahlian yang digunakan untuk kesempatan kerja lebih diutamakan sehingga banyak murid yang mematikan minatnya dan berfokus pada konsep pendidikan neoliberalisme tersebut. Hal ini menjadi dilematis bagi siapa pun yang ingin melawan arus sehingga timbullah krisis eksistensi diri yang menormalisasikan Fear of Missing Out (FoMO).
Memahami eksistensi individu merujuk pada eksistensialisme, yakni paham yang berfokus pada keberadaan individu dalam mengenal makna hidup. Eksistensialisme muncul pada abad ke-19 yang memberikan kontribusi untuk memahami nilai hidup, menjunjung tinggi kebebasan, dan tanggung jawab atas dirinya sendiri. Dalam hal ini, eksistensi mendahului esensi sehingga individu bebas untuk menentukan makna hidupnya sendiri. Namun, eksistensi dapat dikatakan menemukan makna hidup apabila bebas tanpa tuntutan dari luar dan harus sesuai dengan keinginan diri untuk bertindak demi mencapai makna hidup (Emilia, 2023:2-3). Oleh karena itu, eksistensi individu dapat dikatakan kemampuan individu untuk mengenal dirinya sendiri dan memaknai hidupnya dengan bebas tanpa intervensi orang lain sehingga individu tersebut benar-benar nyata dan merasa hidup.
Eksistensi diri yang nyata untuk mengekspresikan pikiran, minat, bakat, dan pola hidup menjadi hal utama bahwa individu memiliki rasa independen dalam hidupnya. Sikap yang mengutamakan kebahagiaan pribadi dengan melakukan apa yang diinginkan tanpa terpengaruh oleh faktor eksternal menjadi aspek nyata dari eksistensi individu. Akan tetapi, mewujudkan eksistensi diri kerap kali disalahartikan bahwa eksistensi diri adalah pengakuan (validasi) dari orang-orang. Sikap ini biasanya ditunjukkan dalam perilaku-perilaku yang dilakukan dalam aktivitas, bukan semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan lebihi untuk mendapatkan pengetahuan dan validasi dari orang lain. Hal ini menjadi degradasi bagi makna eksistensi diri yang sebenarnya sehingga terjadi krisis eksistensi individu yang hidupnya berfokus pada orang lain, dan didorong pemikirannya untuk menormalisasikan FoMO (Elhai et al., 2020:203-204)
FoMO diartikan sebagai tingkat kecemasan individu yang tinggi terhadap ketidakhadiran dari pengalaman yang bermakna, menyenangkan atau penting yang dinikmati oleh orang-orang sezaman mereka (Przybylski et al., 2013:1841). Hal ini menimbulkan individu melakukan aktivitas yang didasarkan oleh kecemasan takut akan sesuatu yang tak tertinggal oleh orang-orang lain. Walaupun aktivitas tersebut tidak sesuai dengan bakat dan minat individu, tetapi tetap dilakukan sehingga keluar dari eksistensi dirinya. Mengejar apa yang menjadi tren agar dapat divalidasi dan merasa dianggap “ada” oleh orang-orang.
Dewasa ini, banyak kasus-kasus yang terjadi akibat gagalnya individu mengenali dirinya dan eksistensi nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga melakukan hal-hal yang sangat fatal. Kasus-kasus yang terjadi, seperti pemuda bunuh diri karena depresi mental. Kasus bunuh diri yang dilakukan seorang pemuda (21) di Desa Kuala Dua, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten kubu raya, Kalimantan Barat pada 27 November 2023 tentu sangat tragis (Mawardi, 2023). Pemuda tersebut bunuh diri diduga depresi sehingga melakukan tindak gantung diri. Umur yang masih muda sudah mengalami depresi yang begitu kuat bagi dirinya sendiri, banyak faktor yang menjadikannya seperti itu. Namun, salah satunya adalah kecemasan yang dialami. Kecemasan terjadi didorong oleh adanya perasaan FoMO sehingga ada kemungkinan individu tak mampu mengikuti atau kalah saing dengan orang lain. Kita bisa melihat di media sosial ada banyak sekali pencapaian-pencapaian yang dipamerkan oleh penggunanya, bahkan kualitas hidup juga diunggah di sana. Orang yang tak mampu dan tak memiliki apa-apa dapat terjebak pada tekanan mental bagi dirinya ketika berselancar di media sosial. Banyak orang yang membandingkan hidupnya dan mengikuti cara hidup orang lain sehingga eksistensi diri yang sebenarnya tidak dikenali.
Tujuan pendidikan seharusnya mampu mengenali dan memahami diri sendiri dalam pengetahuan eksistensi diri, seperti menurut Plato bahwa perlu diarahkan untuk menemukan kebenaran sejati (true knowledge). Selain itu, pendidikan juga harus diarahkan untuk pengembangkan watak (character development). Dalam usahanya untuk menemukan kebenaran, siswa harus lebih diarahkan untuk menemukan konsep-konsep tentang ide daripada dunia materi yang serba berubah, seperti materi untuk memenuhi permintaan lapangan kerja ekonomi. Dunia materi bukanlah dunia yang hakiki, tetapi hanya sebuah bayang-bayang dan ilusi sehingga tak mampu mengembangkan ide dan mengenal diri lebih jauh. Konsep tentang ide yang hakiki merupakan kebenaran tertinggi yang harus dijadikan tujuan pendidikan (Musyafa’Fathoni, A. B., 2010:5)
Guru sebagai tombak penunjuk arah sudah seharusnya mampu memahami konsep “Pendidikan menuntut murid menjadi manusia yang seutuhnya” sehingga apa pun yang diajarkan dan dituangkan dalam kegiatan belajar-mengajar bertujuan untuk membantu murid mengembangkan ide dan minatnya. Di sisi lain, tujuan pendidikan juga seirama dengan gagasan Pancadharma Ki Hajar Dewantara untuk memanusiakan manusia, sebagai berikut.
- Asas kemerdekaan, yang berarti disiplin diri sendiri atas dasar nilai hidup yang tinggi, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Merdeka adalah sanggup dan mampu untuk berdiri sendiri untuk mewujudkan hidup tertib dan damai dengan kekuasaan atas diri sendiri. Merdeka tidak hanya berarti bebas, tetapi harus diartikan sebagai kesanggupan dan kemampuan dari kekuatan serta kekuasaan untuk memerintah diri pribadi.
- Asas kodrat alam, yang berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu adalah makluk. Manusia tidak dapat lepas dari kodrat alam dan akan berbahagia apabila dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang sesuai dengan kemajuan zaman. Oleh karenanya, setiap individu harus berkembang dengan sewajarnya.
- Asas kebudayaan, yang berarti bahwa pendidikan harus membawa kebudayaan ke arah kemajuan dan kepentingan hidup rakyat pada setiap zaman dan keadaan.
- Asas kebangsaan, yang berarti tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan. Oleh karena itu, asas kebangsaan ini tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain melainkan mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh bangsa
- Asas kemanusiaan, yang menyatakan bahwa darma setiap manusia itu adalah perwujudan kemanusiaan yang harus terlihat pada kesucian batin dan adanya rasa cinta kasih terhadap sesama manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan (Hakim M., 2016:83-84)
Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan telah memiliki gagasan yang dapat dikatakan tepat sehingga dalam hal praksis dan implementasi sudah seharusnya memiliki hasil yang baik. Namun, berkaca dari data yang sudah disampaikan sebelumnya, kenyataannnya banyak kasus murid yang masih mengalami krisis eksistensi). Oleh karena itu, gagasan ini belum terealisasikan sepenuhnya. Guru kiranya berkenan meneruskan semangat Ki Hajar Dewantara, dan tak berfokus hanya pada beban administratif, tetapi juga mencetak para murid menjadi manusia seutuhnya, mengenal dirinya, dan berwelas asih (bermurah hati).
Daftar Pustaka
Emilia, D. (2023). Eksistensialisme dan Makna Hidup Analisis Filosofis atas Pilihan Individu. literacy notes, 1(2). https://liternote.com/index.php/ln/article/view/12/23
Elhai, J. D., Yang, H., & Montag, C. (2020). Fear of missing out (FOMO): overview, theoretical underpinnings, and literature review on relations with severity of negative affectivity and problematic technology use. Brazilian Journal of Psychiatry, 43, 203-209. https://doi.org/10.1590/1516-4446-2020-0870
Hadiwinata, B. S. (2006). Bourdieu, Neoliberalisme, Intelektual dan Gerakan Sosial Global. MELINTAS, 22(1), 471-485. https://doi.org/10.26593/mel.v22i1.1008.471-485
Mawardi. (2023, November 27). Diduga depresi, Pemuda di Kubu Raya Bunuh Diri. RRI. Diakses dari https://www.rri.co.id/daerah/459488/diduga-depresi-pemuda-di-kubu-raya-bunuh-diri
Musyafa’Fathoni, A. B. (2010). Idealisme Pendidikan Plato. Tadris STAIN Pamekasan, 5. https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/38751801/httpdownload.portalgaruda.orgarticle.phparticle_267589_val_7084_title_IDEALISME_PENDIDIKAN_PLATO-libre.pdf?1442169428=&response-content-disposition=inline%3B+filename%3DIDEALISME_PENDIDIKAN_PLATO.pdf&Expires=1703344117&Signature=L1tj4KelGogSJlsc8QparY9zIiU9uNx5-AgE21MwckefddWedzkYMHVzZC2N-0FZI-Vw3WPaCk6CXHWKqyQ~LUD3I8sJpwN3AQmhJTQysYPpRrZX1AuOxD6UGId0119nQEf2toyvqJAaz8AM57gt596RrruH0tc42m36iu3fW4kQB9sbvMR~Wm75wttQybVI1DzHNZs-DFri7LqkD-atSsBksb32tEAnG8TndHHDAyX2C8mD9FLb0q08XG5fAZtCcshWWt4CepVS1HkhdSxNlufKQjTpsAbUZo2fyFWL1KHD-RpWFoPywjJDGXMHEMvvkBW~IH1diTClk-4~Y4viOg__&Key-Pair-Id=APKAJLOHF5GGSLRBV4ZA
Hakim, M. (2016). Meruntuhkan Budaya Kuasa dan Kekerasan pada Anak: Belajar dari Ki Hadjar Dewantara. BUANA GENDER : Jurnal Studi Gender dan Anak, 1(1), 79-90.
Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in human behavior, 29(4), 1841-1848. https://doi.org/10.1016/j.chb.2013.02.014
Penulis: Glenn Bintang Hartawan Sinaga
Editor: Ratu Mutiara Kalbu
0 Comments