GSM

Dalam debat calon presiden keempat Pilpres 2019, Sabtu (30/03) lalu, Joko Widodo maupun Prabowo Subianto tampaknya sepakat untuk menanamkan ideologi Pancasila dalam edukasi, namun sebelumnya kedua calon presiden itu diwanti-wanti untuk tidak mengindoktrinasi. Masalahnya, belum ada langkah konkret yang bisa dibayangkan dari petahana maupun saingannya itu.

Dilansir dari Tirto, Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, Satriawan Salim, mengkritik pernyataan kedua kontestan politik tersebut karena dinilai belum menyampaikan secara jelas strategi untuk pengamalan Pancasila dalam pendidikan. Menurut Salim, pendidikan Pancasila sebenarnya telah diberikan dalam kurikulum pendidikan lewat mata pelajaran PPKn/PKn, kegiatan ekstrakurikuler, dan telah diberikan sejak jenjang SD hingga perguruan tinggi. Lebih lanjut, ia merasa bahwa penyampaiannya lah yang tidak menarik dan cenderung satu arah.

Pada tingkat dasar, Pancasila diajarkan dalam bentuk implementasi—yang sialnya lagi-lagi melalui hapalan mata pelajaran. Anak akan diberikan pengertian apa itu gotong royong atau tenggang rasa tanpa melalui pengalaman. Lebih lanjut, tidak ada identifikasi mengenai sikap yang mana itu bermoral atau negasinya. Sebagai contoh, soal-soal pilihan ganda dalam ujian selalu saja terdapat opsi-opsi abstrak; membantu ibu, menyayangi teman, menghargai perbedaan agama, dan lain-lain. Sementara itu murid tak pernah benar-benar diajak mengalami sikap di atas dan apa dampaknya.

Cara penyampaian yang satu arah juga bisa jadi persoalan lain. Sikap penilaian yang hanya dari guru akan membuat anak kesulitan untuk mengidentifikasi mengapa ia dinilai buruk gara-gara mengganggu temannya yang sedang beribadah. Anak kelas satu SD bisa saja tak mengerti konsep perbedaan dan genealoginya.

Di sisi lain, perkembangan zaman yang cepat menjadi tantangan tersendiri dalam mengajarkan ideologi Pancasila. Narasi yang selama ini dijaga tetaplah jiwa patriotik “Pancasila harga mati!” Generasi sekarang jelas berbeda dari era sebelumnya yang mengangkat senjata berarti menjaga negara dan ideologinya tetap utuh. Atau model indoktrinasi di era Orde Baru justru jadi batu sandungan karena bertolak belakang dengan pemerintahan yang otoriter. Pemaksaan itu berdampak pada Pancasila yang jadi jargon semata.

Sementara sekarang, musuh tak benar-benar tampak dan begitu subtil. Ketika gagal mendefinisikan wacana global yang mengancam Pancasila, bisa saja ideologi negara ini akan digerogoti sedikit demi sedikit.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menanamkan Pancasila sejak dini adalah mengenalkan aktivitas nyata ketimbang abstraksi dari ‘sikap baik’. Sekolah bisa saling mempertemukan anak-anak dengan masyarakat dari agama yang berbeda, misal. Ini adalah upaya untuk mengenalkan perbedaan sejak kecil. Amartya Sen, dalam bukunya Kekerasan dan Identitas, menunjukkan bagaimana mengenalkan idiom “setiap manusia adalah sama” pada anak-anak, justru dipandang sebagai salah satu pupuk radikalisme. Dengan membalikkan idiom itu, mengenalkan perbedaan sejak kecil bisa jadi manifestasi sila ke-1 dan ke-3 Pancasila.

Selain itu, penanaman Pancasila dalam bentuk mata pelajaran PPKn/PKn perlu didedah ulang. Jika kedua kandidat presiden setuju untuk tidak menggunakan cara indoktrinasi, Pancasila seharusnya diajarkan secara integral dan ulang-alik dengan aktivitas pembelajaran yang lain. Seperti dalam sekolah model GSM, ada langkah konkret dari abstraksi yang terpapar dalam modul dan buku mata pelajaran PPKn/PKn. Dengan cara seperti ini, pengenalan Pancasila sejak pendidikan dasar tak lagi jadi beban guru mata pelajaran terkait. Membuat kesadaran ekosistem pendidikan yang menunjang implementasi kelima sila saya rasa bisa dilakukan tanpa terjebak terma indoktrinasi.

(Yesa Utomo)


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.