GSM

Bahwa sesungguhnya manusia terlahir dan tumbuh sebagai makhluk sosial. Ketika lahir, manusia membutuhkan uluran tangan dan kasih sayang orang tua. Saat melalui periode balita hingga remaja, tak terhitung pula berapa sosok yang ambil bagian dalam pertumbuhannya. Keluarga sudah pasti masuk dalam lingkaran paling dekat, namun kemudian pelan-pelan disusul oleh kehadiran tetangga, guru, dan teman.

Pada proses pertumbuhan tersebut, pelan-pelan manusia akan menyadari pentingnya peran orang lain dalam hidupnya. Kesadaran ini secara tidak langsung sudah menempatkan individu pada jaringan sosial masyarakat dan di dalamnyalah sebuah respons sosial turut diharapkan. Manusia tidak hanya menerima bantuan dari lingkungan sosialnya, tetapi turut membuat jaringan itu tetap ‘berdenyut’ dengan tindak sosialnya.

Ironisnya, sistem pendidikan Indonesia kurang memerhatikan hal itu. Kurikulum dibangun dengan konsep bertahan hidup (survival) dan kompetisi. Di satu sisi, anak-anak harus memenuhi standard tertentu untuk lulus. Di lain sisi, mereka harus mampu mencapai peringkat tertentu untuk diterima di sekolah-sekolah ‘favorit’. Aspek akademik dijadikan patokan, sementara kodrat sebagai makhluk sosial secara sistemik dimatikan dalam proses belajar di ruang kelas.

Gerakan Sekolah Menyenangkan memiliki kerangka berpikir yang menolak keras tekanan sistemik itu dalam ruang kelas. Ketimbang mengagungkan nilai akademis, deretan aspek manusiawi justru menjadi focus pembelajaran GSM. Salah satunya adalah nilai sosial dan empati, yang mana tertuang dalam ‘Teman of the Week’ di SD Muhammadiyah Mantaran.

Teman of the Week, Penanaman Kepekaan Sosial sejak Dini

Satu pagi di Mantaran, Bu Dian bersama murid-muridnya memasang semacam hiasan dinding di kelas 4 SD Muhammadiyah Mantaran yang penuh warna. Ada nomor satu sampai lima beserta bendera kecil bertuliskan nama-nama anak. Sebagian kantong masih kosong saat itu, tetapi ada beberapa yang dipenuhi dengan bendera-bendera. Ada satu nama yang paling banyak menerima suara dari teman sekelasnya dan anak itu mendapatkan predikat ‘Teman of the Week’.

“Anak-anak memilih satu temannya yang dianggap paling baik selama pekan itu. Waktu saya tanya alasannya kepada beberapa anak, mereka dengan senang menjawab, ‘Dia baik, Bu, selalu nemenin saya waktu sedih’, ‘Dia juga baik, Bu, mau membantu saya waktu repot bikin Daur Hidup’,” kata Bu Dian yang kala itu mengajar Kelas 4.

Para siswa dengan sadar mengapresiasi kebaikan yang dilakukan oleh temannya, hal yang mungkin menjadi angin lalu dalam sistem pendidikan formal negara kita. Bukan hanya angka di atas kertas yang mendapat penghargaan, namun juga tindakan baik yang dilakukan kepada sesamanya. Apresiasi ini dapat mengajarkan anak-anak untuk lebih memerhatikan temannya, peduli, dan tentunya mengulurkan tangan ketika orang di sekitarnya butuh bantuan.

“Ada satu anak yang nggak mendapat kertas sama sekali, lalu berkeluh sama saya. Ini justru bisa jadi motivasi. Saya bilang, berarti mungkin kamu harus lebih sering berbuat baik sama teman-teman. Nanti dicoba lagi ya,” tandas beliau.

Memang masih ada sedikit unsur kompetisi dalam kegiatan ini, namun tidak semata-mata kompetisi yang egois. Anak-anak mendapat apresiasi atas empatinya terhadap orang lain dan pelan-pelan meningkatkan ‘denyut’ kebaikan dalam jaringan sosial di kelas. Kelas tidak lagi menjadi ruang untuk bersaing secara akademis, melainkan ruang sosial di mana anak-anak berlomba untuk melakukan perbuatan baik. Naluri untuk menjaga hubungan baik dengan sesama manusia pun terjaga dalam ekosistem pendidikan ini.

Mengembalikan Kodrat Makhluk Sosial

Bagi yang mendapat predikat ‘Teman of the Week’, apresiasi dari teman dan guru tentu membuatnya bangga karena tindakan baiknya ternyata memiliki arti. Bagi yang belum mendapatkan, mereka akan termotivasi untuk lebih peduli pada temannya. Anak-anak kembali diingatkan bahwa hidup tidak melulu soal nilai bagus dan ranking satu. Ada hal yang lebih besar dapat menjadi pembelajaran, terutama dalam tatanan sosial masyarakat.

Aktivitas sederhana seperti ini memang mudah dijalankan, namun maknanya bisa berdampak sangat besar pada anak. Selain menanamkan nilai sosial dan empati, dia secara tidak langsung mengikis pola pikir akademis yang menguasai sistem pendidikan kita. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial harus dibiarkan tumbuh di ruang kelas, bukannya ditekan secara sistematis. Toh, pada akhirnya kita hanya ingat kebanggaan mendapat nilai 100 selama sekolah saja. Di masa depan, tempat khusus dalam hati justru akan diberikan kepada teman yang paling berkesan selama masa sekolah.


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.