GSM

Pak Yudha memulai kariernya sebagai seorang guru sejak tahun 2014 saat beliau baru saja lulus SMK dan menyambi kuliah. Namun, saat itu beliau masih sebagai guru pengganti mata pelajaran dari guru – guru yang berhalangan hadir. Oleh karena itu, pak Yudha berpikir bahwa setidaknya ia harus menguasai banyak pelajaran tersebut. Pada saat itu pula, beliau mencari trik serta cara untuk menghidupkan suasana kelasnya supaya tidak terkesan membosankan. Akhirnya, beliau kadang – kadang mengajak siswa – siswinya untuk belajar di luar kelas. 

Setelah menyelesaikan kuliahnya, beliau diberikan tanggung jawab penuh sebagai guru dalam satu mata pelajaran, yaitu Kesmavet. Akan tetapi, menurutnya, mata pelajaran yang beliau ampu bukan menjadi pelajaran favorit dari murid – muridnya. Beliau mengatakan “Saya itu guru produktif, tetapi yang saya ajarkan itu tentang jangkrik, dan lebah. Lah, jangkrik dan lebah ngapain dipelajari? kan gitu tanggapan anak – anak.” Seperti itu menurutnya. Sampai akhirnya, beliau menerapkan kesepakatan kelas serta mengapresiasi murid – murid yang berpartisipasi aktif dalam kelasnya melalui sebuah sertifikat. 

Beliau terus berpikir untuk mencari cara pembelajaran yang dapat diterima oleh murid – muridnya, sehingga tidak terkesan membosankan. Tidak hanya model pembelajaran, beliau juga mengubah bentuk ujian murid – muridnya berupa presentasi hasil praktikum dari mata pelajarannya. Akan tetapi, ternyata perubahan mandiri yang beliau lakukan belum bisa diterima oleh pihak sekolah. Beliau sempat dipanggil oleh wakasek kurikulum dan kepala sekolah karena melakukan ujian, namun sama sekali tidak mengumpulkan lembar jawaban dari murid – muridnya. Dikarenakan hal tersebut, beliau dianggap sebagai seorang guru yang tidak patuh terhadap administrasi. 

Akhirnya, beliau mengajak Wakasek kurikulum untuk menjadi panelis dari ujian berikutnya. Beliau sebagai fasilitator dan panelis lah yang akan menilai presentasi dari para murid – muridnya. Setelah proses ujian selesai, beliau berdiskusi kembali dengan wakasek kurikulum. Saat berdiskusi, keduanya saling bertukar pendapat hingga sampai pada kesimpulan bahwa praktik ujian yang dilakukan seperti ini lebih terlihat kejujuran dan prosesnya. Penggunaan kertas selembar dan sebagainya justru hanya meyakinkan mereka untuk melakukan kecurangan dan berbohong. 

Bahkan, beberapa kali murid – muridnya saling berbagi cerita dengan temannya mengenai model ujian yang dilakukannya “Oh ternyata ujian seperti ini enak ya. Nilainya ada bukan karena hasil belajar satu hari atau sistem kebut semalam kemudian dinilai, tetapi benar – benar teraktualisasikan apa yang kita pelajari dan kerjakan. Seperti dihargai proses kita.” Seperti itu cerita murid – muridnya yang disampaikan oleh pak Yudha. 

Praktik selama ini beliau lakukan adalah untuk kebaikan murid – muridnya. Beliau menginginkan bahwa cara – cara lama yang beliau dapatkan sejak di bangku sekolah dulu tidak diterapkan kembali pada murid – muridnya. Menurutnya, siswa – siswi sudah bosan dengan pola ujian yang penerapannya sama sejak sekolah dasar. Pemberian soal pilihan ganda serta esai terus menerus dengan soal yang belum tentu dipahami oleh siswa – siswi. Bahkan, ketika murid – murid mendapat nilai rendah dalam soal ujian tersebut, mereka dianggap bodoh dan tidak tuntas dalam pelajaran yang diujikan. Pemikiran tersebut tidak seharusnya dipertahankan terus – menerus bagi seorang guru. 

Perbedaan cara mengajar yang dilakukan oleh pak Yudha  memang menjadi sebuah pertanyaan dan keraguan besar di lingkungan tempat beliau mengajar. Pertanyaan seperti ‘untuk apa?’ ‘kok dibuat seperti itu?’ tidak jarang didapatkan oleh dirinya. Terlebih, banyak yang merasa bahwa apa yang beliau lakukan menyita banyak waktu dan merasa bahwa ‘toh yang capek gurunya sendiri’ serta belum tentu ada manfaatnya. Terlepas dari hal tersebut, beliau tetap membuktikan bahwa perubahan mandiri yang beliau lakukan akan berdampak baik untuk para siswa – siswinya bahkan untuk pendidikan di masa yang akan datang. 

Sosok guru penyimpang yang dilakukan oleh pak Yudha ternyata memang sudah ada jauh sebelum beliau mengenal GSM. Pada akhirnya, tahun 2020 lalu menjadi momen pertemuan beliau dengan GSM. Beliau menceritakan bahwa pada saat itu GSM sedang mengadakan workshop di Yogyakarta bagi para kepala sekolah SMK. Namun, kepala sekolah dari tempat beliau mengajar berhalangan hadir karena antigen yang reaktif. Pada akhirnya, pak Yudha lah yang diberi amanah untuk mewakilkan sekolahnya menghadiri workshop tersebut. 

Ternyata, beliau mendatangi workshop tersebut sebagai perwakilan seorang guru di antara berbagai kepala sekolah yang datang.  Ternyata, memang sudah jalan beliau untuk bergabung dan dipertemukan langsung oleh GSM. Melalui workshop tersebut, beliau mulai mengenal GSM serta mempunyai kesan positif terhadap hal – hal yang diperjuangkan oleh GSM. Pada akhirnya, beliau merasa bahwa apa yang dilakukannya benar dan merasa ada yang mendukung segala perubahan mandiri yang telah beliau perjuangkan untuk siswa – siswinya. Bahkan beliau juga diberikan kesempatan untuk bergabung langsung dengan GSM pusat.

Beliau mengungkapkan bahwa “Ketika saya mengenal GSM, ekosistemnya, support-nya itu benar – benar luar biasa. Kita saling berkolaborasi, membantu, dan sebagainya” seperti itu kesan yang beliau berikan. Beliau juga mengatakan bahwa dirinya semakin semangat untuk menerapkan ke-GSM-an apalagi saat beliau diberikan kesempatan untuk berbagi ke berbagai sekolah lainnya. Terlebih, lingkungan tempat ia mengajar saat ini juga telah menyambut baik dan mau bergerak serta saling berkolaborasi. 

Ia mengajak guru – guru lain di sekolahnya untuk bergerak dan berkolaborasi bersamanya. Seperti pada guru Pendidikan Agama Islam dan Seni Budaya yang ternyata merupakan guru pak Yudha dahulu saat beliau duduk di bangku sekolah. Beliau mengajak guru pendidikan Agama Islam untuk berkolaborasi dengan dirinya pada materi kelas 11 tentang menyamak. 

Beliau menceritakan “Kebetulan saya mengajar mata pelajaran Kesmavet yang berhubungan dengan penyakit rabies. Nah, misalkan, siswa – siswi melakukan praktik bersama dengan seekor anjing. Bagi siswa – siswi yang beragam Islam kan harus disamak. Jadi, beliau saya ajak untuk berkolaborasi untuk menyisipkan materi mengenai samak secara agama dan rabies dalam mata pelajaran saya” seperti itu praktik kolaborasi yang beliau lakukan. Bahkan, pak Yudha juga mengatakan bahwa saat itu effort yang diberikan oleh rekan kolaborasinya sangat luar biasa, dan sampai hari ini beliau terus membagikan praktik ke-GSM-an di kelasnya. 

Kemudian, beliau juga mengajak guru Seni Budaya untuk berdiskusi dengannya. Pak Yudha bercerita bahwa salah satu gurunya ini memang sering bersitegang dengan murid – muridnya. Akan tetapi, saat ini gurunya tersebut justru telah menghidupkan suasana kelas menjadi seru dengan model pembelajaran uniknya. Pak Yudha menceritakan bahwa gurunya menggunakan salah satu platform aplikasi karaoke untuk mengajak murid – muridnya rileks dan bernyanyi sebelum pelajaran dimulai. 

Siapa sangka bahwa keraguan besar yang dipertanyakan oleh lingkungan sekitarnya ternyata membawa dirinya menjadi seorang pionir perubahan di sekolahnya. Beliau mempunyai keyakinan bahwa orang – orang akan meniru apa yang kita kerjakan dengan melihat keberhasilan kita. Akan tetapi, bagaimana pun ceritanya pasti tetap akan ada tantangan serta rintangannya. Kalau sebelum ber-GSM beliau hanya perlu meyakinkan lingkungannya tentang bagaimana dirinya akan sukses menerapkan praktik GSM di sekolahnya. Namun, saat ini beliau mempunyai tantangan lebih besar untuk berbagi pada sekolah – sekolah lainnya di seluruh Indonesia. Beliau mengatakan “Apa yang saya sampaikan dan bagikan belum tentu diterima oleh banyak pendengarnya, para guru yang saya datangi. Karena kita membawa ideologi perubahan untuk pendidikan. Jadi, tantangannya semakin terasa” seperti itu menurutnya. 

Akan tetapi, menurutnya, melalui ekosistem yang luar biasa seperti GSM. Beliau menjadi lebih percaya diri untuk menyampaikan perubahan hal – hal baik bagi dunia pendidikan. Bahkan, beliau berinisiatif untuk membentuk grup di setiap sekolah yang ia kunjungi untuk melihat proses perubahan bersama yang dilakukan oleh lingkup sekolah tersebut. Salah satu sekolah tempat beliau berbagi sudah menunjukkan perubahan dengan saling membagikan kabar berbagai kolaborasi yang dilakukan melalui grup tersebut. 

Pak Yudha mempunyai harapan untuk teman – teman guru lainnya di seluruh Indonesia serta untuk setiap siswa – siswi di Indonesia. Untuk para guru, beliau menyampaikan bahwa “perubahan itu nyata, kita perlu untuk bisa berproses di dalam perubahan tersebut. Kalau kita tidak mau mengambil peran, yang ada hanya lah pembelajaran dengan pemberian cara – cara lama terhadap murid – murid kita. Yakinlah, dua puluh hingga tiga puluh tahun yang akan datang, pekerjaan rutinitas akan tergantikan. Maka dari itu, cara yang kita gunakan untuk disalurkan kepada anak – anak bukan cara yang kita dapat terdahulu. Akan tetapi, sebuah kreativitas dengan cara yang berbeda. Supaya mereka siap untuk survive di masa yang akan datang” seperti itu harapan baik yang beliau sampaikan. 

Selain itu, teruntuk siswa – siswi calon penerus bangsa Indonesia “Kembali saya sampaikan bahwa kita ini tidak kekurangan orang – orang pintar. Akan tetapi, kita kekurangan orang – orang dengan Social Emotional Learning yang baik, dengan empati yang baik. Maka dari itu, saat ini belajar dimanapun bisa dilakukan. Namun, untuk mengasah softskill, serta Social Emotional Learning cukup sulit untuk dilakukan dan lebih banyak dilakukan melalui peran di rumah. Maka dari itu, anak – anak didik di seluruh Indonesia sudah harus mulai mengasah dua hal tersebut bahkan melalui hal – hal terkecil atau sederhana. Sehingga, kedepan di tahun 2045, kita benar – benar dapat menangkap peluang bonus demografi untuk menjadikan Indonesia emas.” Seperti itu harapan baik yang beliau sampaikan.

Penulis: Dwidia Jezy

Editor: Hayinah Ipmawati


0 Comments

Leave a Reply

Avatar placeholder

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.