Beberapa waktu yang lalu tim GSM mendapat kesempatan untuk berbincang langsung dengan Bapak Saryadi, Plt. Direktur Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri (Mitras Dudi). Beliau memberikan pandangannya mengenai pendidikan vokasi yang ada di Indonesia dengan kompetensi yang dibutuhkan siswa – siswi terhadap perkembangan dunia di Abad ke-21. Pak Saryadi juga melihat pandangan masyarakat mengenai siswa – siswi SMK yang dianggap mempunyai kemampuan akademik yang kurang baik dibandingkan siswa – siswi SMA, namun, beliau menanggapi hal tersebut dengan jauh lebih positif.
Beliau mengatakan “Menurut saya itu bukan sebuah hal negatif bagi SMK. Artinya, dalam posisi ini pun SMK bisa berperan untuk berkontribusi mengantarkan anak – anak bangsa ini dengan berbagai atribut supaya mereka lebih berdaya dengan kompetensi yang mereka peroleh dari SMK.” Seperti itu pandangan positif yang beliau sampaikan. Terlebih, saat ini sudah mulai banyak orang tua menyarankan anak – anaknya yang memang sudah bergelut dengan minat dan bakat tertentu untuk mengambil jenjang pendidikan menengah kejuruan.
Lebih jauh dari itu, pak Saryadi juga membagikan pandangan mengenai kompetensi yang dibutuhkan siswa – siswi di abad ke-21 saat ini. Beliau menjelaskan bahwa saat ini dibutuhkan pengembangan softskill dan pembentukan karakter. Hal tersebut cukup menjadi perhatian lebih dari para rekan pelaku industri. Beliau mendapat masukan bahwa profil lulusan satuan pendidikan vokasi saat ini dianggap mempunyai softskill dan karakter yang relatif lemah. Sedangkan, hardskill yang dikuasai oleh peserta didik tidak menjadi kecemasan dalam perbincangannya.
Berdasarkan saran dan masukan tersebut, Dirjen Vokasi menaruh perhatian khusus untuk mengembangkan softskill dan karakter siswa – siswi. Dalam perkembangannya, kedua hal ini tidak dapat diupayakan sepihak oleh peran pemerintah atau sekolah saja. Tentunya diperlukan keterlibatan orang tua dan masyarakat. Beliau mengatakan “Untuk itu diperlukan keterlibatan dari semua pihak, tidak hanya dari sisi sekolahnya saja, tetapi perlu ada dukungan dan keterlibatan orang tua serta masyarakat yang juga tidak kalah penting kaitannya dengan karakter dan budaya kerja.” Seperti itu penjelasan yang beliau sampaikan.
Menurut Pak Saryadi, ada beberapa hal yang memungkinkan kurangnya pembentukan softskill peserta didik. Salah satu tantangannya adalah sistem pembelajaran yang ada di sekolah belum memberikan perhatian khusus untuk perkembangan softskill dan karakter. Namun, beliau juga menyampaikan bahwa sebenarnya tiga kompetensi yang ada pada pendidikan vokasi seperti knowledge (pengetahuan), skill (keterampilan), attitude (sikap) sudah mencakup pembentukan softkill juga. Akan tetapi, beliau kembali menyampaikan bahwa “Bagaimana caranya untuk membawa proses pembentukan softskill sesuai dengan tuntutan agar mereka bisa berkarir di kemudian hari itu yang harus dipertajam kembali” Seperti itu penjelasannya.
Pak Saryadi kemudian menggarisbawahi bahwa karier yang beliau maksud bukan hanya sebagai pekerja industri atau perusahaan, tetapi juga mencakup kewirausahaan atau melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Maka dari itu, softskill dan karakter menjadi modal untuk menopang karier mereka di kemudian hari. Selain itu, kemantapan softskillyang perlu dikembangkan juga bukan hanya sekedar untuk melaksanakan sebuah tugas yang berkaitan dengan kompetensi masing – masing. Melainkan lebih luas dari hal tersebut, seperti daya juang dan cara berkomunikasi. Beliau mengatakan bahwa hal tersebut yang didorong untuk bisa terintegrasi dengan proses membentuk hardskill.
Oleh karena itu, diperlukan kehadiran guru yang tidak hanya bertugas untuk transfer ilmu. Dengan kata lain, mampu memperhatikan aspek – aspek lain mengenai perkembangan anak didiknya yang tidak hanya dari sisi hardskill saja. Kesiapan pendidik terhadap kesesuaian kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan murid di masa depan memang menjadi langkah pertama untuk meningkatkan softskill dan karakter peserta didik. Namun beliau memang menjelaskan bahwa “Pada dasarnya untuk membuka mindset para guru ini sebuah tantangan terbesar. Kalau untuk yang lain seperti keterlibatan industri bisa dimobilisir dengan berbagai skema pemerintah, namun aktor utamanya tetap guru untuk perubahan yang ada di ruang kelas atau bengkel yang tidak tergantikan dengan otomatisasi sekarang.” Seperti itu penjelasannya.
Untuk itu, secara bertahap Kemendikbud sudah membuat tahapan – tahapan yang secara berkelanjutan akan diikuti bersama dengan program berikutnya untuk mengembangkan kompetensi pendidik. Seperti intervensi yang dilakukan oleh Kemendikbud saat ini yang telah menargetkan 901 Sekolah Menengah Kejuruan untuk menjadi akselerator program Pusat Keunggulan atau SMK PK melalui Gerakan Sekolah Menyenangkan. Program ini diharapkan mampu menjadi penggerak bagi SMK lainnya untuk unggul bersama dalam mencapai kompetensi lulusan yang dibutuhkan dalam abad ke-21 saat ini.
Salam, berubah, berbagi, berkolaborasi!
Penulis: Dwidia Jezy
Editor: Hayinah Ipmawati
0 Comments