Banyak peserta didik yang merasa tertekan saat sekolah secara daring. Beban tugas yang diberikan cukup membuat keseharian mereka terpaku hanya pada tugas yang diberikan untuk memenuhi nilai sebagai syarat kenaikan kelas. Hal demikian tidak hanya dirasakan oleh para peserta didik, guru – guru juga merasakan hal yang sama karena beban administrasi yang harus dituntaskan. Para guru yang tertekan dengan segudang administrasi tersebut tentu kesulitan untuk mendapatkan ruang gerak dalam berinovasi.
Sehingga, hal tersebut membatasi ruang gerak guru – guru untuk memikirkan ide – ide baru terhadap kegiatan belajar – mengajar yang beragam bagi peserta didik. Beban administrasi tersebut juga terkadang lebih banyak mempengaruhi efektivitas guru sampai dengan menurunnya kinerja guru dalam proses pembelajaran. Bagaimana tidak, terkadang para guru membawa pulang tugas administratifnya ke rumah dan menyelesaikan hingga larut malam. Tentunya, lembur pekerjaan yang dilakukan sangat mengganggu guru – guru untuk mengawali kegiatan pembelajaran esok hari. Terlebih, kerumitan administrasi tersebut berujung hanya pada nilai semata sebagai tolak ukurnya.
Beban administratif juga dirasakan oleh Pak Diyarko yang merupakan salah satu guru SMK yang tergabung dalam GSM. Beliau mengajar mata pelajaran sketsa pada jurusan Animasi. Meskipun tetap terbelenggu oleh tugas administratif, pak Diyarko memilih untuk mewujudkan cita-citanya menjadi guru yang merdeka dan memerdekakan anak didiknya. Pak Diyarko tidak takut untuk membuat terobosan-terobosan dalam pembelajaran yang kiranya dapat memanusiakan dan menyenangkan anak didiknya. Beliau menginisiasi kolaborasi Challenge Basic Drawing antar mata pelajaran dengan guru lainnya untuk meringankan bobot tugas yang diberikan bagi peserta didik, serta sebagai salah satu cara mengatasi kejenuhan siswa – siswi nya.
Pak Diyarko mengatakan, “Kolaborasi ini berawal dari permasalahan ketika pembelajaran secara daring, siswa sangat terbebani dengan tugas – tugas yang menumpuk. Dapat dibayangkan, berapa beban tugas yang harus diemban oleh siswa ketika setiap mapel memberikan penugasan. Dari kolaborasi ini cukup dengan memberikan project yang kami sebut sebagai challenge yang akan diampu oleh beberapa guru yang berkolaborasi, diharapkan beban tersebut akan semakin berkurang”. Seperti itu katanya.
Pak Diyarko juga memaparkan bahwa kegiatan ini diibaratkan seperti gula yang dibawa bersama – sama oleh para semut, yaitu seperti satu project yang dibimbing oleh beberapa guru mata pelajaran yang berbeda-beda. Kolaborasi ini juga dilakukan sebagai jalan untuk mengembalikan sekolah menjadi taman belajar yang menyenangkan. Pak Diyarko yakin bahwa pendidikan harus memanusiakan manusia.
Menurutnya “Pendidikan yang memanusiakan manusia adalah pendidikan yang mengembalikan pada fitrah manusia itu sendiri. Anak-anak memiliki hak untuk menjadi jati dirinya dan kita sebagai guru memiliki kewajiban untuk mengantarkannya. Anak-anak memiliki hak untuk berkreativitas, dan guru memiliki kewajiban untuk mendampingi anak-anak untuk mengoptimalkan kreativitas dari potensi yang telah dimiliki. Selama ini, kita dihadapkan pada sistem kompetisi dibuktikan dengan adanya perangkingan yang justru akan menjadikan manusia-manusia yang egosentris, kurang empati dan sebagainya”. Seperti itu, menurutnya.
Kegiatan kolaborasi yang dilakukan pak Diyarko menggandeng para guru yang mengampu mata pelajaran dasar – dasar seni rupa dan mata pelajaran dasar – dasar kreativitas. Keduanya menjadi rekan kolaborasi tetap selama satu tahun. Selain itu, pak Diyarko juga berkolaborasi dengan guru Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Jawa sebagai rekan kolaborasi tentatif.
Beliau juga melibatkan para orang tua dan para pelaku usaha sebagai komponen kolaborasi challenge ini. Dalam rangkaian kegiatan yang dibuatnya, pak Diyarko memaparkan bahwa peran orang tua melalui kegiatan ini adalah mendukung serta memotivasi anak – anaknya untuk belajar. Selain itu, pak Diyarko juga memaparkan bahwa challenge kolaborasi ini dibuat sebagai bentuk pengembangan kompetensi hard skill serta pengembangan social emotional peserta didik.
Kolaborasi ini diawali dengan membuat materi pembelajaran yang dilengkapi dengan berbagai challenge yang akan ia berikan kepada para muridnya. Berbagai challenge tersebut akan diunggah melalui portal Animax. Portal tersebut dapat diakses oleh siapapun, termasuk siswa, guru, masyarakat, orang tua, hingga pelaku usaha yang mempunyai tautan atau link tersebut. Kemudian, peserta didik diberikan panduan melalui grup WhatsApp untuk mencoba menyelesaikan tantangan yang diberikan. Grup tersebut berisi para guru yang tergabung dalam kolaborasi ini serta para peserta didik.
Hasil kreativitas peserta didik yang telah menyelesaikan challenge akan diunggah oleh mereka melalui kanal Instagram. Setelah itu, siswa – siswi menyalin tautan unggahan Instagramnya dan dikirim ke grup WhatsApp. Melalui grup tersebut, guru – guru memberikan apresiasi terhadap hasil kiriman karya peserta didik. Para guru juga memberikan saran membangun bagi para muridnya. Apabila karya tersebut telah disepakati bersama sebagai karya yang siap untuk diunggah ke portal Animax. Maka, setelahnya siswa – siswi diberi arahan untuk mengunggah karyanya melalui portal yang telah disediakan.
Challenge pertama diberikan untuk mengasah hard skill peserta didik dengan tema menggambar suatu karakter dari buah. Kemudian, dilanjut dengan mengilustrasikan gambaran perasaan dari lagu “ibu” karya Iwan Fals untuk mengasah social emotional peserta didik. Challenge kolaborasi ini ditanggapi positif oleh para peserta didik. Hal ini dibuktikan dengan survei mandiri yang dilakukan oleh pak Diyarko terhadap siswa – siswi nya. Banyak dari siswa – siswi yang merasa tertantang untuk bisa membuat karya terbaik versinya, serta merasa kegiatan ini menyenangkan.
Selain itu, para murid juga merasa kreatifitas dari karyanya dihargai dan merasa terbantu terhadap saran dan komentar positif dari para guru. Ditambah, mereka semakin mantap untuk belajar animasi. Menurut pak Diyarko, kesan yang diberikan oleh para murid menjadi bahan masukkan bagi para guru untuk melakukan proses perbaikan dalam pembelajaran. Menurutnya, “dalam era keterbukaan ini, kita sebagai guru hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan umpan balik, memberikan kesan dan saran yang sifatnya membangun” seperti itu, menurutnya.
Cara interaktif pak Diyarko dalam praktik belajar – mengajar animasi juga ia salurkan ketika ia mengajar Matematika. Dalam mengajar, ia meluruskan konsep persamaan linier dalam contoh soal yang sering peserta didiknya dapatkan ketika dibangku SMP. Dalam prosesnya, banyak murid yang salah paham dengan konsep ruas kanan dan ruas kiri persamaan linear. Pak Diyarko kemudian memberikan pemahaman dengan menyajikan sebuah gambar neraca yang berkaitan erat dengan prinsip keseimbangan dalam persamaan linier.
Menurut pak Diyarko, “Meluruskan konsep persamaan linier ini merupakan bagian yang penting agar siswa benar – benar memahami konsep bukan sekedar terampil dari apa yang dicontohkan guru. Siswa bukan sebuah mesin fotokopi yang menirukan apa yang dilakukan guru, sehingga ketika diberikan permasalahan yang bukan rutin siswa cenderung mengalami kesulitan. Pemahaman konsep yang benar ibarat membangun pondasi yang kuat ketika akan mendirikan sebuah bangunan” Seperti itu, katanya.
Praktik baik yang dilakukan oleh pak Diyarko menggambarkan kebebasan ragam dan keterbukaannya dalam proses belajar mengajar. Meskipun beban administrasi masih membelenggu, namun pak Diyarko memilih kesempatan untuk berinovasi serta keluwesan untuk membuat suasana pembelajaran yang tidak kaku dan menyenangkan. Pak Diyarko juga mengatakan bahwa “Jangan pernah jadikan siswa kita sesuai dengan keinginan kita, biarkan mereka berkembang dengan potensi yang ia miliki”. Seperti itu, menurutnya. Sesuai dengan apa yang dikatakan pak Diyarko, baik peserta didik maupun para guru harus mendapatkan kebebasan untuk mengoptimalkan kreativitas dan potensi yang telah dimiliki.
Salam, berubah, berbagi, berkolaborasi!
Penulis: Dwidia Jezy
Editor: Hayinah Ipmawati
0 Comments