GSM

Pak Abing: Mencari Hal yang Menyusahkan Sebelum Menyenangkan

Pengalaman menjadi guru yang dimiliki oleh Pak Abing semakin lengkap ketika bertemu dengan GSM. Pertama kali mengikuti diklat GSM, satu hal yang muncul di kepala Pak Abing, yaitu GSM kepanjangan dari Gerakan Sekolah Menyusahkan. Pak Abing merasa kesulitan untuk memahami apa yang dimaksud dengan “Menyenangkan”, baginya sebelum ia dapat merasakan hal menyenangkan perlu adanya hal menyusahkan terlebih dahulu.

Kegigihan Pak Yudha Menjadi Mantra Guru Lainnya Untuk Saling Berubah, Berbagi, dan Berkolaborasi.

Beliau mengungkapkan bahwa “Ketika saya mengenal GSM, ekosistemnya, support-nya itu benar – benar luar biasa. Kita saling berkolaborasi, membantu, dan sebagainya” seperti itu kesan yang beliau berikan. Beliau juga mengatakan bahwa dirinya semakin semangat untuk menerapkan ke-GSM-an apalagi saat beliau diberikan kesempatan untuk berbagi ke berbagai sekolah lainnya. Terlebih, lingkungan tempat ia mengajar saat ini juga telah menyambut baik dan mau bergerak serta saling berkolaborasi.

Refleksi: Tanamkan Kemenangan Emas di Kelas-Kelas

Di tengah terpaan berita negatif di negeri ini, pasangan ganda putri, Greysia Polli dan Apriyanti Rahayu mempersembahkan medali emas untuk Indonesia. Fenomena emas ini menggerakkan co-founder GSM untuk merefleksikan momen kemenangan ini, dengan highlight menghadirkan semangat kebangsaan di kelas kelas.

Dulu jaman saya kecil, ketika ada final bulutangkis, atau sepakbola bahkan tinju berlangsung maka sekolah akan diliburkan atau kami diminta pulang cepat. Terasa sekali dulu kami membangun rasa kebanggaan ketika menyaksikan para pahlawan olahraga ini bertanding mengharumkan nama bangsa. Kami jadi merasa bangga pada Indonesia dan kami juga menjadikan para jagoan ini role model dalam bersungguh sungguh membangun prestasi di berbagai bidang terutama olahraga.

Antara Idealisme Dan Kenyataan Dalam Pelaksanaan Pembelajaran Menyenangkan

Fresh graduate adalah saat otak penuh dengan idealisme dan teori-teori di buku. Masa-masa itu adalah masa dimana saya masih memiliki idealisme yang kuat tentang bagaimana standar pembelajaran dan kelas yang menarik. Saya membayangkan sebuah kelas dengan fasilitas lengkap dengan ruangan yang luas yang cukup untuk pojok baca, pojok hukuman, meja kursi berkelompok-kelompok yang sesuai dengan fisik anak, space untuk “lesehan”, dan dinding kelas yang penuh dengan hasil karya siswa. Selain itu, iklim kelas yang seru dan anak-anak yang penuh dengan antusias. Seperti itulah imajinasi saya tentang sebuah kelas.

Metakognisi di era VUCA ala Bu Oka

Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini pendidikan kita memasuki era VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity) yang digambarkan sebagai era pendidikan yang akan terus mengalami perubahan. Maka dari itu, seluruh aspek pendidikan dituntut untuk merespon perubahan secara cepat, tidak terkecuali siswa. Hal inilah yang menggerakkan bu Oka, guru SD Muhammadiyah Sidoarum untuk menerapkan pembelajaran berbasis metakognisi, karena kemampuan metakognisi inilah yang akan membantu siswa dalam merespon perubahan di era VUCA ini.

This website uses cookies and asks your personal data to enhance your browsing experience.